KOMPAS.com — Status Awas Gunung Merapi di Daerah Istimewa Yogyakarta belum dicabut saat Istana Kepresidenan meniupkan isu monarki yang melebar ke sana kemari. Warga yang kehilangan anggota keluarga, rumah, tanah garapan, dan sumber penghidupan lainnya masih mengungsi. Mengapa Presiden bersyak wasangka....
Masa depan masih gelap bagi mereka karena yang kerap didengar hanya janji.
Peternak yang kehilangan sapi misalnya. Meski janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengganti sapi yang mati dan membeli sapi diujarkan setelah erupsi, realisasinya jauh dari harapan. Banyak pengungsi yang dihadapkan pada kebutuhan sehari-hari melupakan janji. Sapi dijual dengan harga murah karena janji tak bisa menghidupi.
Hingga Selasa (30/11/2011), atau lebih dari sebulan setelah erupsi Merapi, belum satu pun sapi pengungsi yang diganti pemerintah pusat seperti janji yang kerap diulangi. Pemerintah Kabupaten Sleman kebingungan karena mekanismenya tidak jelas. Hingga kini jumlah sapi yang sudah akad jual kepada pemerintah baru 46 ekor. Belum satu pun sapi itu dibayar.
”Saya bingung. Ternak yang mati mau diganti ternak hidup atau uang, tidak jelas. Pembelian ternak hidup juga tidak jelas. Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan pemerintah pusat berbeda,” ujar Wakil Bupati Sleman Yuni Satia Rahayu.
Menurut Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Sleman Riyadi Martoyo, sapi yang mati di Sleman akibat erupsi Merapi sebanyak 2.468 ekor, sedangkan ternak hidup yang sudah diajukan untuk dijual oleh peternak di Sleman tak lebih dari 900 ekor.
Menurut Kepala Dinas Pertanian DIY Nanang Suwandi, pembayaran pembelian ternak sapi belum bisa dilakukan karena hingga kini dana belum dikucurkan. Pemerintah pusat kembali berjanji mengucurkan dana akhir November.
Pengungsi karena erupsi Merapi memang berkurang bersamaan dengan turunnya aktivitas vulkanik Merapi. Radius bahaya yang berkurang membuat warga berani kembali ke rumah yang sebagian besar rusak dan hancur untuk menata hidup. Pemerintah Kabupaten Sleman mencatat lebih dari 25.000 warganya masih tinggal di pengungsian dengan cerita pilu dan duka.
Banjir lahar dingin yang datang seperti tsunami membuat takut dan sejumlah jembatan rusak. Ratusan rumah pun terendam material Merapi. Banyak warga tidak sempat menyelamatkan barang-barang berharga.
Dian Putra (6), murid kelas I SD Negeri Langensari, kehilangan tas, buku-buku pelajaran, dan sepatu yang hanyut bersama banjir Kali Code. Seragam sekolahnya basah, dan Dian tidak sekolah. Ia bersama orangtuanya, Ngatiran dan Sarmi, mengungsi.
Ketua RW 07 Gowongan, Jetis, Yogyakarta, Eko Agus, menuturkan, lebih dari 30 rumah warganya tergenang banjir lahar dingin. Lebih dari 150 warganya mengungsi ke balai warga dan rumah tetangga. Data sementara menyebutkan jumlah pengungsi mencapai 3.498 orang, tersebar di lima kecamatan: Jetis, Tegalrejo, Danurejan, Pakualaman, dan Gondomanan.
Tidak mengerti sejarah
Dengan beban psikologis dan ekonomi yang sensitif seperti itu, pernyataan Presiden menjadi pembahasan yang panas bagi puluhan warga RW 07 Kelurahan Gowongan yang berlepotan lumpur. ”Pernyataan Presiden tentang monarki itu menyakitkan,” kata Mujijono, warga RT 29.
Eko Agus juga mengaku sakit hati mendengar pernyataan Presiden. Bagi dia, pernyataan semacam itu menunjukkan bahwa pemerintah pusat tidak mengerti sejarah DIY.
Asosiasi Pemerintahan Desa Indonesia DIY juga menilai ucapan Presiden bertabrakan dengan konstitusi karena keistimewaan DIY secara sah diatur dalam UUD 1945.
Oleh karena itu, Mulyadi, Ketua Paguyuban Kepala Desa dan Perangkat Desa Se-DIY Ismaya, mengemukakan, pernyataan Presiden soal monarki justru menyatukan warga DIY untuk mempertahankan keistimewaan meskipun sedang ditimpa bencana.
Ketua Paguyuban Becak Pariwisata Yogyakarta Paiman menuturkan, daripada pemerintah pusat harus menganggarkan miliaran rupiah untuk pemilihan gubernur DIY, lebih baik dana itu dipakai untuk memperbaiki nasib para tukang becak.
Bupati Sleman Sri Purnomo hanya berkomentar, sebaiknya pemerintah pusat memusatkan konsentrasi untuk menangani bencana Merapi sehingga masyarakat Yogyakarta terbantu.
Soal keistimewaan DIY, Presiden hasil didikan tentara yang pernah bertugas di DIY saat menjadi Komandan Korem 072/Pamungkas Yogyakarta, Kodam IV/Diponegoro, itu pasti memahaminya. Apalagi, konstitusi selalu ada di sakunya.
Karena peran istimewa DIY, 28 Desember 1949, Presiden Soekarno berterima kasih secara khusus. Ucapan terima kasih itu disimpan di Gedhong Kaca (Museum Hamengku Buwono IX) dalam Kompleks Keraton Yogyakarta. Isinya: ”Djogjakarta menjadi termasjhur oleh karena djiwa kemerdekaannya. Hidupkanlah terus djiwa kemerdekaan itu.”
Kini jiwa merdeka itu mendapat tantangan saat seluruh warga menaruh perhatian kepada sejumlah warga yang hidup di pengungsian.
Gerakan warga dengan jiwa merdeka yang menyala mulai bergerak bersama mempertahankan keistimewaannya. (INU/ARA/ENY/RWN/PRA/IRE)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.