Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Homestay", Studi Wisata yang Asyik

Kompas.com - 03/12/2010, 05:30 WIB

Sekolah akan mengadakan studi wisata? Ehm, pasti asyik, kita belajar sambil jalan-jalan. Akan tetapi, begitu terbayang ada tugas yang menumpuk, wah jadi males rasanya. Mau studi wisata yang tugasnya enggak berat? ”Homestay” aja!

Homestay bukan hal baru, banyak sekolah pernah ngadain homestay sebagai media pembelajaran bagi siswa. Enggak cuma sekolah yang ngadain, keluarga juga ada yang memilih homestay untuk mengisi liburan.

Istilah homestay juga dipakai untuk siswa yang sedang belajar di luar negeri dan tinggal di rumah warga asli negara tersebut. Akan tetapi, homestay yang kami ceritain ini pasti bikin kamu tertarik untuk nyoba.

Banyak tempat yang bisa dipilih untuk homestay. Biasanya terletak di lokasi yang masih alami, jauh dari keramaian, dengan pemandangan indah.

Salah satu tempat homestay yang pernah kami kunjungi adalah Desa Pasanggrahan, Purwakarta. Desa ini sering dikunjungi sekolah-sekolah menengah. Rumah-rumah yang ditempati sebagai rumah tinggal sementara sebagian besar berupa rumah panggung bercat biru-putih. Hmm, jarang banget kan kita nemuin jenis rumah kayak gitu?

Banyak hal seru yang kita temuin saat menempuh perjalanan. Rute yang harus kami tempuh jauh banget. Tapi perjalanan ternyata belum selesai, kami harus berjalan kaki sejauh dua kilometer untuk sampai ke rumah homestay dengan membawa tas besar. Karena lokasi homestay kami di gunung, otomatis jalan yang kami lalui belok-belok dan penuh tanjakan.

Setelah sampai, para siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok yang anggotanya 5-6 orang. Tiap kelompok tinggal di rumah penduduk bersama keluarga tuan rumah, atau kami sebut induk semang.

Bahasa sehari-hari penduduk Desa Pasanggrahan adalah bahasa Sunda. Bahkan, ada juga penduduk yang sama sekali tak bisa berbahasa Indonesia. Jadilah kami cukup kewalahan saat mereka mengajak berbicara.

Nadia, salah satu teman kami, segera meralat ucapannya yang berbahasa Indonesia ke bahasa Sunda begitu seorang ibu yang ia ajak bicara mengerutkan dahi tanda tak mengerti. Setelah di-translate ke bahasa Sunda, baru si ibu mengerti.

Tah, kitu atuh ku basa Sunda. Hésé ku basa Indonesia mah,” (Nah, gitu pakai bahasa Sunda. Susah kalau pakai bahasa Indonesia),” begitu katanya.

Oh ya, sebagian rumah memasak dengan cara tradisional, menggunakan tungku yang disebut hawu dan kayu bakarnya disebut suluh.

Setelah bertemu induk semang rumah masing-masing, kegiatan dilanjutkan dengan jelajah alam yang dipandu kakak-kakak dari Karang Taruna Desa Pasanggrahan. Kami mendaki Gunung Burangrang.

Kami berjalan menyusuri pematang sawah, berjalan menanjak, menyeberangi sungai lewat jembatan bambu, bahkan beberapa kali ada yang terjatuh karena jalannya licin. Tapi, kelelahan kami terbayar oleh pemandangan indahnya.

”Aku jadi semakin sadar kalau Indonesia tuh indah banget. Tadinya aku enggak percaya masih ada tempat seasri ini,” kata Reza, peserta homestay.

Malam harinya kami mengadakan nonton bareng bersama warga desa. Acara ini berlangsung di pendopo. Awalnya kami sulit mencari sambungan listrik untuk layar LCD. Setelah setengah jam, baru kami berhasil mendapatkan sambungan listrik.

Kegiatan sehari-hari

Keesokan harinya kami mengikuti kegiatan induk semang masing-masing. Bagi siswa yang induk semangnya pagi itu tak berkegiatan, mereka mengikuti kegiatan membuat gula aren, rengginang, atau batako. Kegiatan ini seru sekali!

Lalu siangnya kami mengadakan acara jual sembako murah dan pengobatan gratis. Hasil dari penjualan sembako murah itu kami berikan ke kas desa untuk pembangunan desa.

Hari ketiga homestay diisi pertandingan persahabatan antara siswa dengan pemuda desa, ada pertandingan sepak bola dan voli. Meski dengan gawang dan net yang tak seperti umumnya, tetapi pertandingan tetap berlangsung seru dan menyenangkan.

Di hari terakhir itu kami benar-benar enggak pengin pulang, rasanya masih ingin menikmati hari-hari di Desa Pasanggrahan. Malam terakhir homestay kami gunakan untuk pentas seni yang juga ditonton warga desa. Kami juga membuat api unggun dan bakar-bakar jagung.

Unik

Banyak hal menarik di desa yang belum pernah kita lihat. Contohnya, induk semang ke sawah sambil membawa kedua anaknya. Di tengah jalan mereka menemukan dua wortel segar dan mengambilnya. Setiba di sawah, keduanya segera mencuci wortel itu di sungai kecil dekat sawah, dan memakannya mentah-mentah, he-he-he.

Ternyata anak-anak desa tumbuh sehat karena cemilan mereka adalah makanan yang menyehatkan dan alami. Di rumah pun, sambil bermain, mereka menggenggam mentimun dan asyik menggigitinya... kruess-kruess.

Ada hal lain yang menarik saat pertandingan sepak bola persahabatan. Saat itu kami bermain di sebidang tanah dekat pendopo desa. Karena lapangannya tak cukup luas untuk bermain bola, jalan dan teras depan rumah penduduk pun dianggap sebagai lapangan.

Kami tak menyangka mereka punya seragam tim berwarna merah-putih yang membuat mereka kompak. Sepak bola benar-benar permainan rakyat.

”Mereka mainnya bagus, umpan-umpannya tepat sasaran, cuma kurang finishing,” kata Deta, pemain tim sekolah kami.

Banyak hal kita dapatkan dari homestay, yakni belajar mandiri dan bersosialisasi dengan penduduk desa. Banyak cerita seru tentang kehidupan desa yang membuat kita merasa bersyukur.

Kita banyak belajar dari penduduk desa hal-hal yang enggak didapatkan di sekolah. Contoh, kita belajar budaya dan kearifan hidup dari mereka.

”Di sini siswa belajar langsung di lapangan,” kata Pak Jalil, ketua panitia homestay.

Kegiatan ini juga sarana refreshing dari kepenatan ritme sehari-hari di kota. Penasaran? Coba yuk!

Tim MAN Insan Cendekia Serpong

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com