Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

DPR Pemburu Etika

Kompas.com - 27/10/2010, 04:34 WIB

Ahmad Syafii Maarif

Di tengah gencarnya protes publik terhadap kunjungan anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk belajar etika demokrasi ke Yunani, 23-26 Oktober, terngiang juga kritik Gus Dur yang menyamakan DPR dengan TK, taman kanak-kanak.

Dari sisi mana pun orang menilai kunjungan itu tak bermanfaat. Yunani kini merupakan negara yang nyaris gagal di Eropa. Budaya korupsi dan upeti telah lama menyandera negara itu hingga tak dapat bangkit sebagai bangsa yang patut dicontoh.

Memang pada abad-abad sebelum Masehi bumi Yunani telah melahirkan nama-nama besar: Protagoras (490-420 SM), Hippokrates (460-370 SM), Sokrates (469-399 SM), Plato (429-347 SM), Aristoteles (384-322 SM), Epikurus (341-270 SM), dan masih ada yang lain.

Namun, di abad modern hampir tak ada yang layak dipelajari di sana. Jika publik menilai kunjungan itu sia-sia, memang demikianlah adanya, kecuali jika anggota DPR ingin membandingkan teknik korupsi dan manipulasi rencana pembuatan anggaran belanja di Indonesia dan di Yunani. Itu baru klop! Kedua negara sama-sama rapuh dalam hal etika politik.

Di antara nama-nama di atas, adalah Aristoteles yang banyak bicara tentang etika dan pemikiran politik berdasarkan prinsip teleologis: ada tujuan yang hendak dicapai dalam bernegara. Namun, bagi Aristoteles, sistem kerajaan adalah bentuk pemerintahan terbaik, bukan demokrasi. Apakah anggota DPR itu ingin mengubah demokrasi menjadi kerajaan?

Jika di Athena kuno ada demokrasi, itu hanya untuk segelintir warga negara yang berstatus merdeka dan kaya. Selain itu budak. Tanpa sistem perbudakan sebagai penyanggah kekuasaan, tidak akan pernah ada demokrasi di Athena. Rakyat Indonesia adalah manusia merdeka, bukan budak yang dapat diperlakukan semau gue. Mohon DPR mempertimbangkan fakta sosiologis ini dengan sungguh-sungguh!

Rakyat marah? Sangat masuk akal karena perilaku sebagian anggota DPR memang tidak senonoh dan memuakkan. Saya tidak tahu virus macam apa yang bekerja dalam otak mereka yang membuat publik terluka.

Buka Google saja

Jika hanya urusan seperti di atas itu yang ingin dipelajari, mengapa harus pergi ke Yunani dengan memboroskan uang negara? Buka saja internet dan tanya Mbah Google, semua jawaban akan ke luar dalam hitungan detik, hampir tanpa ongkos. Namun, jika yang ingin dilihat adalah bumi yang pernah melahirkan pemikir-pemikir besar, apa urgensinya bagi Indonesia yang kini sedang sarat dengan berbagai masalah yang belum terpecahkan?

Jawabannya adalah bahwa sebagian anggota DPR kita memang telah kehilangan kepekaan tentang tugas mereka di Senayan. Bukan karena mereka murid TK, tetapi jangkauan visinya tidak melebihi halaman rumah dan tuturan atapnya.

Sistem demokrasi Indonesia yang berlaku sekarang telah melahirkan manusia-manusia pendek akal dan sangat pragmatis. Semua partai memiliki manusia-manusia tipe ini, sering menjual kepalsuan meraih tujuan-tujuan rendah. Manusia tipe inilah rupanya yang ingin memburu etika ke Yunani.

Dalam artikel ”Tersesat di Muenchen” (Kompas, 14 Agustus 2010, saya menyebut seorang sopir Yunani yang mengantar saya ke hotel di saat senja. Ketika saya menyebut nama-nama besar di atas, sopir ini dengan santai mengatakan, ”Dulu memang hebat, sekarang rakyat Yunani itu bodoh.”

Ternyata sopir yang mencari nafkah di Muenchen ini sudah tidak lagi bangga dengan negerinya, sementara anggota DPR kita masih bersikukuh bahwa kunjungan ke Yunani mempunyai manfaat yang besar. Lain sopir, lain pula anggota DPR kita.

Patah harap

Ada apa sebenarnya di balik kemarahan publik ini? Bukan karena mereka tak percaya kepada sistem demokrasi lalu ingin kembali ke sistem politik otoritarian yang menggusur kebebasan. Sama sekali bukan! Mereka marah dan hampir patah harap karena elite bangsa (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) berlindung di balik selimut demokrasi menyalahgunakan sistem ini demi sesuatu yang mengingkari tujuan demokrasi: keadilan dan kesejahteraan umum.

Inilah inti masalah yang sangat serius, tetapi sering dipandang enteng para elite yang tak sadar diri itu. Rakyat sudah lelah dengan pertunjukan berbagai kepalsuan atas nama demokrasi. Sebagai warga tua, saya sangat gerah menonton perilaku politik yang tunamoral itu. Agama mengajarkan agar saya jangan putus asa sebab saatnya pasti akan datang ketika elite bangsa ini melepaskan segala atribut kepalsuan dan kembali kepada otentisitas manusia Indonesia yang bersikap adil dan beradab, sebagaimana diminta oleh sila kedua Pancasila.

Lawan adil adalah zalim, lawan beradab adalah biadab. Kezaliman dan kebiadaban adalah di antara musuh utama yang harus dihalau dari bumi Indonesia merdeka.

Ahmad Syafii Maarif Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com