Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Insiden Tarakan dan Sekat Etnis Otda

Kompas.com - 01/10/2010, 03:13 WIB

Laode Ida

Konflik berbau etnik kembali terjadi di Tarakan, Kalimantan Timur (28/9). Peristiwa dipicu oleh pembunuhan Abdullah (56), salah satu pemangku suku Tidung, suku asli Tarakan, oleh sekelompok orang keturunan suku Bugis (Sulawesi Selatan).

Solidaritas emosional ikatan etnis spontan bangkit, ”diorganisir” oleh Persatuan Suku Asli Kalimantan (Pusaka), terlebih setelah aparat keamanan (polisi) lamban bertindak untuk menemukan pembunuh Abdullah.

Bentrok dua kelompok etnik akhirnya tak terhindarkan. Warga dari komunitas Bugis pun melawan fisik secara terbuka. Pihak aparat keamanan tampaknya kewalahan atau tak mampu mengantisipasinya sehingga saat artikel ini ditulis, korban meninggal dari kedua belah pihak bertambah menjadi lima orang. Sungguh memprihatinkan.

Peristiwa konflik terbuka antarkomunitas etnik yang berbeda dengan emosi yang tak terkendali tampaknya memang masih selalu tak terelakkan. Para warga yang bertikai larut atau terjebak dalam emosi kesukuan. Bahkan, dalam skala besar dan rentang waktu yang relatif panjang, pertikaian antarsuku pernah beberapa kali terjadi di negeri ini.

Kita masih ingat antara lain konflik ”segitiga” suku di Sambas, Kalimantan Barat, antara etnik Dayak dan Melayu versus Madura; konflik di Ambon, Maluku, melibatkan etnik asli Ambon versus pendatang (Bugis, Makassar, Buton, dan Muna); serta konflik Sampit, Kalimantan Tengah, Madura versus Dayak.

Jumlah korban jiwa dan materi dalam beberapa peristiwa ”perang sipil” itu sungguh sangat besar, dengan dampak psikososial berupa trauma dan rasa khawatir bisa terulang lagi atau bahkan rasa kebencian antarsuku yang bertikai. Ini adalah bagian yang melekat dalam jiwa sosial, termasuk di dalamnya generasi muda. Ini berarti, derajat sensitivitas sosial pasca-bentrokan akan sangat tinggi.

Dampak psikososial

Kondisi psikososial pascakonflik memang akan berdampak, bisa negatif ataupun positif. Negatif kalau muncul dendam sosial yang diwariskan dari generasi ke generasi atau melekat secara berkepanjangan. Hal ini bisa membuat hubungan sosial di antarkomunitas etnik yang berbeda juga tidak sehat. Singkatnya, modal sosial berbasis keragaman etnik dan budaya akan retak, padahal itulah yang menjadi bagian dari kekuatan dasar bangsa ini.

Dampak positif bisa terjadi apabila strategi dan pendekatan dalam proses pemulihan mengena. Di antara sesama masyarakat lokal akan lebih saling mengenal karakter sehingga memungkinkan terbangunnya sikap toleransi satu sama lain. Pada saat yang sama, derajat kematangan warga dalam menjalani kehidupan antarkomunitas dengan latar yang beragam akan semakin tinggi, sekaligus menjadi bagian dari proses membangun masyarakat berperadaban pluralisme.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com