Tujuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah mewujudkan amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 agar tercapai keadilan akses terhadap perolehan dan pemanfaatan bumi, air, dan kekayaan alam di dalamnya.
Namun, perkembangan di segala bidang dan kebutuhan sumber daya alam (SDA) yang meningkat memerlukan penyempurnaan UUPA secara komprehensif dan responsif terhadap aspirasi masyarakat.
Sejatinya, UUPA dimaksudkan berlaku untuk semua SDA, tidak hanya tanah. Proses penyusunannya selama 12 tahun diwarnai dengan ketidakstabilan penyelenggaraan negara dan konflik politik. Didorong oleh kebutuhan mendesak terbitnya UUPA, dapat dipahami bahwa di luar 10 pasal yang memuat dasar dan ketentuan pokok, hampir 80 persen UUPA mengatur pertanahan.
Kekuranglengkapan UUPA semestinya dilengkapi pada tahun - tahun berikutnya. Akan tetapi, yang terjadi adalah pada 1970-an terbit berbagai UU sektoral (kehutanan, pertambangan, minyak dan gas bumi, pengairan, dan lain-lain) untuk mengimplementasikan pembangunan ekonomi. UU sektoral itu masing-masing berlandaskan pada Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 tanpa merujuk pada UUPA. Sejak saat itu, kedudukan UUPA didegradasi menjadi UU sektoral, khusus mengatur pertanahan.
UU sektoral yang disusun sesuai dengan visi, misi, dan orientasi tiap sektor itu ternyata tumpang tindih. Akibatnya, keadilan dan kepastian hukum di bidang SDA sungguh dipertaruhkan. Hasil kajian terhadap 12 UU sektoral (Maria Sumardjono, dkk, 2009) mengonfirmasikan hal itu.
Dilihat dari aspek orientasi, keberpihakan, pengelolaan, perlindungan HAM, dan penerapan tata kelola pemerintahan yang baik, terdapat inkonsistensi antar-UU sektoral. Dampak disharmoni dapat dilihat pada sulitnya koordinasi, degradasi SDA, ketimpangan struktur penguasaan dan pemanfaatan SDA, serta berbagai konflik yang berlarut.
Di bidang pertanahan sudah terbit banyak peraturan pelaksanaan UUPA. Namun, masih ada dua persoalan mendasar pembangunan hukum pertanahan.