Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sengketa Indonesia-Malaysia

Kompas.com - 01/09/2010, 03:56 WIB

Oleh S Wiryono

Sejak insiden 13 Agustus, Indonesia dan Malaysia terperangkap dalam perang mulut yang cukup panas, diplomasi megapon yang sangat tak sedap dan seyogianya dicegah agar tak meningkat menjadi perselisihan yang lebih sulit diatasi.

Pada masa lalu, Indonesia pernah melakukan konfrontasi, tetapi kemudian teratasi dengan baik lewat perundingan: hanya setelah pemimpin di Indonesia berganti. Apakah kejadian di masa lalu akan berulang? Apakah suara garang DPR dan masyarakat bakal berkembang jadi genderang perang?

Dalam hubungan ini, kiranya perlu diingat ucapan PM Inggris semasa Perang Dunia II, Sir Winston Churchill, tentang perang. Katanya: sekali seorang negarawan menabuh genderang perang, dia tak dapat lagi jadi tuan atas keputusannya, malah jadi budak bagi kejadian yang tak teramalkan dan tak terkendalikan.

Pemerintah maupun rakyat Indonesia memang beralasan marah jika bangsa kita dilecehkan. Namun, kiranya perlu diketahui, keduanya terikat dalam ASEAN, yang dua tahun lalu menandatangani piagam bahwa asosiasi itu bertujuan menjadi suatu masyarakat yang saling memerhatikan dan saling berbagi. Lagi pula, atas permintaannya mempercepat giliran tahun depan, Indonesia akan mengetuai ASEAN untuk satu tahun dan diharapkan memainkan peran kepemimpinannya yang perlu mendapat dukungan dari semua pihak.

Tak sekadar bilateral

Meski insiden 13 Agustus merupakan masalah bilateral Indonesia-Malaysia, kiranya hubungan kedua negara perlu dilihat dalam kerangka lebih luas: baik subregional ASEAN maupun

Asia Timur dan Pasifik, ASEAN Plus Three, APEC, PBB, bahkan G-20. Semua menekankan penyelesaian konflik secara damai. Kepemimpinan Indonesia perlu mencerminkan kedudukan pentingnya dalam berbagai arsitektur politik, keamanan, dan ekonomi tersebut di samping nilai demokrasi dan perdamaian yang dikandung dalam Pancasila.

Dalam situasi panas yang melanda kedua negara, memang gaung dari apa yang dikatakan oleh seorang penulis militer Romawi (jika Anda menghendaki damai, persiapkanlah perang) terdengar nyaring dan menarik. Adagium tua ini masih jadi pegangan bagi banyak negara. Miliaran dollar AS dikeluarkan untuk persenjataan, tetapi patut pula diketahui, setelah Perang Dunia II, perang semakin dilihat sebagai sesuatu yang tak pantas lagi.

Ada kebutuhan melihat secara jernih dan jelas kekurangan dalam diri kita sendiri yang sehari- hari kita kritik dan berusaha kita perbaiki. Jangan sekadar memperdengarkan suara galak dalam diri kita. Mendiang mantan Menteri Luar Negeri Ali Alatas menyatakan dalam bukunya, A Voice for A Just Peace, bahwa pada analisis terakhir: kepentingan nasional tertinggi adalah perdamaian. Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 menekankan hal ini.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com