Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

WNI dan Ancaman Hukuman Mati di Malaysia

Kompas.com - 26/08/2010, 02:55 WIB

Wahyu Susilo

Akhir pekan lalu, Migrant Care, Infid, dan Kontras mengeluarkan seruan keprihatinan atas kian banyaknya jumlah warga negara Indonesia di Malaysia yang menghadapi ancaman hukuman mati.

Seruan keprihatinan ini dibuat setelah vonis mati Supreme Court Malaysia terhadap dua WNI pada 18 Agustus lalu. Menurut ketiga organisasi itu, setidaknya 345 WNI terancam hukuman mati atas tuduhan terlibat pembunuhan, perampokan, dan pemilikan atau pengedaran narkotika. Bahkan, menurut Wakil Duta Besar RI untuk Malaysia Tatang B Razak, jumlah WNI yang terancam hukuman mati sudah mendekati 400 orang (Koran Tempo, 22/8). Mereka adalah buruh migran, TKI, tapi ada juga yang berstatus pengungsi, terutama yang berasal dari Aceh.

Besarnya jumlah WNI yang terancam hukuman mati di Malaysia semakin menambah kegeraman masyarakat atas sikap lembek Pemerintah Indonesia dalam diplomasi politik dengan Malaysia yang dalam pekan terakhir ini kembali memanas. Akhirnya atas desakan berbagai kalangan, termasuk politikus di DPR, awal pekan ini Presiden SBY menggelar sidang kabinet dengan salah satu topik tentang penyelesaian kasus ancaman hukuman mati terhadap 345 WNI.

Pada sidang kabinet itu, semua menteri yang terkait dengan persoalan ini diminta berkoordinasi menyelesaikan masalah. Namun, apa yang mereka lakukan? Alih- alih melacak akar masalah, para menteri sibuk cari argumentasi membantah data WNI yang terancam hukuman mati. Menlu, Mennakertrans, dan Ketua BNP2TKI mengoreksi data bahwa WNI yang terancam hukuman mati ”hanya” 177, ”bukan” 345.

Lain lagi Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar. Ia melansir data WNI di Arab Saudi yang terancam hukuman mati ”hanya” 12 orang. Memilukan sekali, nyawa WNI dianggap angka belaka, bukan manusia. Pertanyaan pokoknya: apa yang telah mereka lakukan ketika mengetahui angka-angka itu? Jika tak terserang amnesia, seharusnya pemerintah tak kelabakan ketika data ratusan WNI di Malaysia terancam hukuman mati tersiar ke publik.

Data yang dilansir Migrant Care, Infid, dan Kontras dikompilasi dari laporan KBRI Malaysia, Liaison Officer Polri Kuala Lumpur, NCP Interpol, dan laporan keluarga. Mestinya pemerintah tahu persis data itu, mestinya juga diketahui para petinggi RI, apalagi sang presiden.

Pemerintah memang lebih suka menyajikan data yang menunjukkan keberhasilan pembangunan ketimbang menampilkan wajah muram pembangunan. Dalam soal migrasi tenaga kerja, pemerintah sangat tahu jumlah remitansi yang dikirim buruh migran hingga digit terakhir dan tak pernah lupa minta iuran 15 dollar AS kepada calon buruh migran untuk disumbangkan ke APBN sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak.

Namun, jangan harap pemerintah mampu menjawab berapa buruh migran yang dianiaya, diperkosa, dan dibayar rendah upahnya. Hingga kini pun negara tak pernah mengeluarkan statistik: berapa buruh migran kita yang meninggal dan menghadapi ancaman hukuman mati?

Dalam upaya pembebasan buruh yang menghadapi hukuman mati, kita selalu mengambil contoh advokasi model Filipina. Kisah heroik pembelaan Pemerintah Filipina terhadap Sarah Balabagan dan Flor Contemplacion selalu jadi rujukan. Teladan negara lain penting dipelajari, tapi sering kita lupa, Indonesia pernah punya kisah sukses membebaskan buruh migran dari ancaman hukuman mati.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com