JAKARTA, KOMPAS.com — Dalam pidatonya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan perhatian dengan memaparkan dua paragraf pernyataan-pernyatan normatif. Dari dua paragraf materi pidato Presiden tersebut, nyaris tidak ada substansi yang bisa dijadikan acuan dan pemacu optimisme jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia.
Demikian pernyataan Setara Institute yang disampaikan Manajer Program dan Peneliti Setara Institute Ismail Hasani dan Peneliti Syauqilloh ke media massa, Senin (16/8/2010).
Menurut Setara Institute, dalam Pidato Kenegaraan di depan DPR RI dan DPD RI, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan bahwa “... saya ingin menggarisbawahi perlunya kita terus menjaga dan memperkuat persaudaraan, kerukunan, dan toleransi kita sebagai bangsa. Dalam kehidupan sehari-hari, kita masih menjumpai kasus-kasus yang tidak mencerminkan kerukunan, toleransi, dan sikap saling menghormati ... “
Paragraf berikutnya ... “Keadaan demikian tidak boleh kita biarkan. Kita ingin setiap warga negara dapat menjalani kehidupannya secara tenteram dan damai, sesuai dengan hak yang dimilikinya. Inilah sesungguhnya falsafah “hidup rukun dan damai dalam kemajemukan”. Inilah sesungguhnya makna utuh dari Bhinneka Tunggal Ika yang kita anut dan jalankan.”
“Apa yang disampaikan oleh SBY hanya deretan jargon yang kita semua sudah kenal bahwa ada semboyan Bhinneka Tunggal Ika. SBY sama sekali tidak menunjukkan kecemasannya tentang masjid yang disegel, gereja yang diserang, dan politik penyeragaman atas nama agama dan moralitas di berbagai daerah melalui perda-perda syariah. Padahal, semua itu adalah faktor-faktor yang akan mengoyak persaudaraan, kerukunan, dan toleransi,” ungkap Ismail Hasani dan Syaiqulloh.
Setara Institue menyayangkan, Presiden tidak menunjukkan tekadnya memberikan jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan dan tekad menindak setiap kekerasan atas nama agama yang menimpa setiap warga negara. Presiden SBY tidak menyinggung realitas mutakhir pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia.
“Walau demikian, apa pun komitmen itu harus kita apresiasi dengan cara menagih janji-janji itu menjadi lebih operasional dan mewujud dalam berbagai bentuk tindakan dan kebijakan. Tanpa tindakan nyata, pidato yang berbiaya mahal itu hanya menjadi slogan dan jargon politik belaka,” demikian pernyataan Setara Institute. (KSP)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.