Koordinator Indonesia Parliamentary Center Sulastyo, Rabu, secara terpisah di Jakarta, menuturkan, DPR tak memiliki ukuran untuk mengalkulasikan baik atau buruk kinerjanya. Penggunaan alat pemindai sidik jari sebagai solusi untuk meningkatkan kedisiplinan anggota DPR tidak akan efektif karena akan mendorong wakil rakyat bekerja minimalis.
Sulastyo mengatakan, ada tiga fungsi yang melekat pada anggota DPR, yakni pengawasan, legislasi, dan penganggaran. Namun, sampai kini belum ada satu perangkat pun yang bisa digunakan untuk mengukur kinerja anggota DPR terkait ketiga fungsi itu.
”Tiga fungsi itu melekat pada anggota DPR, tetapi tak bisa diukur berapa banyak mereka melakukan (fungsi) itu,” katanya.
Publik tak bisa menilai keberhasilan tiap-tiap anggota DPR dalam melaksanakan ketiga fungsi itu sebab yang paling berperan menurut undang-undang dan Tata Tertib DPR adalah fraksi. Seharusnya DPR menugaskan setiap anggota untuk melaporkan kegiatan mereka minimal selama masa reses.
Menurut Sulastyo, tingkat kehadiran dalam rapat bukan satu-satunya ukuran untuk menilai kinerja DPR. Sebagai wakil rakyat, seharusnya anggota DPR aktif terlibat dalam pembahasan permasalahan terkait rakyat atau rancangan undang-undang.
Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia Ronald Rofiandi juga mengakui, penggunaan alat pemindai sidik jari untuk menekan angka ketidakhadiran anggota DPR tidak akan efektif. ”Penggunaan teknologi absensi
Menurut Ronald, harus ada perangkat kriteria dan mekanisme kerja yang bisa memaksa anggota DPR untuk selalu menjalankan fungsinya. Salah satunya adalah dengan meminta fraksi mengevaluasi kinerja anggotanya minimal setahun sekali, seperti diatur dalam Tata Tertib DPR.
Selain itu, katanya, Badan Kehormatan DPR juga harus melaksanakan fungsinya sebagai penegak kedisiplinan.