Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sudahi Politisasi Petani

Kompas.com - 16/07/2010, 03:48 WIB

Usep Setiawan

Riak-riak tak sedap mencuat dalam Musyawarah Nasional VII Himpunan Kerukunan Tani Indonesia, Bali, 12-15 Juli 2010. Alih-alih berhasil merumuskan agenda nyata bagi petani, munas ini terjebak dalam pertarungan elite merebut posisi puncak organisasi.

Sejauh ini, Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dikenal sebagai organisasi massa tani yang dibentuk pada era Orde Baru dengan misi terselubung: mengontrol dan mengendalikan gerakan tani. Dulu HKTI jadi organisasi tunggal petani Indonesia. Tak boleh ada organisasi lain selain HKTI. Petani diorganisasikan untuk dikuasai, bukan dicerdaskan dan dibebaskan.

Setelah Soeharto tumbang, kiprah HKTI kian politis. Belakangan ormas ini cenderung jadi kendaraan politik dari elite ekonomi-politik yang mengatasnamakan petani mencapai tujuannya sendiri. Contoh yang benderang adalah pencalonan ketua umum HKTI dalam jabatan politik tertinggi pemerintahan melalui Pemilu 2004 dan 2009.

Dampak lebih jauh petualangan politik para elite: HKTI kian terpasung sebagai organisasi ”atas nama” petani. Sulit dibantah, HKTI bukanlah ormas tani sejati. Mayoritas pegiatnya bukanlah petani sebenarnya. Amat jarang pemimpinnya berasal dari petani. Pengurusnya sebagian besar bukanlah petani. Nama ”petani” hanya dipinjam dan kepentingannya diatasnamakan untuk kepentingan lain di luar kepentingan petani.

HKTI kerap digunakan sebagai kendaraan atau alat kaum elite untuk mencapai tujuan bermotif ekonomi maupun politik elite yang tak mesti sejalan dengan tujuan perjuangan petani. Selama ini eksistensi HKTI membawa nama besar petani, tetapi tingkah polahnya tak selalu mencerminkan gambaran sebagai wadah perjuangan petani.

Diakui atau tidak, HKTI barulah sebagai ormas tani seolah- olah. Seolah-olah ormas tani. Ditengarai gerak-geriknya pun kerap tak sebangun dengan kepentingan nyata petani.

Perlu transformasi

Jika menemukan peran sejarahnya secara signifikan, tak ada pilihan lain kecuali HKTI harus merumuskan ulang jati dirinya.

Tersedia pilihan: apakah akan tetap jadi seperti selama ini, yaitu ”ormas atas nama” sekaligus kendaraan politik elite yang mengatasnamakan kepentingan petani? Ataukah mau bertransformasi menjadi ormas tani sejati? Jika pilihan kedua yang diambil, ada sejumlah prasyarat yang tak mungkin dielakkan. Kepemimpinan ormas tani mestilah diisi figur yang memiliki rekam jejak yang cemerlang sejak dalam pikiran, perkataan, maupun perbuatannya dalam memperjuangkan hak-hak petani.

Selain itu, secara kelembagaan, ormas tani juga mestilah mampu merumuskan agenda dan program perjuangan yang benar menyentuh kepentingan dan kebutuhan kaum tani. Misalnya, jika ormas tani menyadari problem petani yang pokok ialah ketidakadilan agraria, reforma agraria sebagai jawaban harus jadi agenda utama perjuangannya.

Aneka program pun mestilah lebih membumi sehingga menyentuh kebutuhan dasar petani. Hak ekonomi, sosial, dan budaya petani penting diterjemahkan ke dalam program kerja nyata. Jika reforma agraria jadi agenda utama, landreform yang bermakna perombakan struktur pemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan tanah secara berkeadilan harus jadi program pokok perjuangan petani Indonesia.

Cermin kesejatian

Lebih lanjut, struktur organisasi dan kepengurusan pun hendaknya direformulasi agar lebih mencerminkan kesejatiannya. Masuknya kader-kader petani dan pemimpin dari kalangan petani sendiri ke dalam struktur pengurus di berbagai level akan jadi indikator penting dalam mengukur legitimasi sosial ormas tani.

Jika pada masa lampau ormas tani diisi wajah-wajah nirpetani dan tak punya jalan hidup yang menandakan kesungguhan dalam memperjuangkan hak petani, ke depan sosok baru dari kalangan gerakan petani sendiri yang sepantasnya memimpin ormas tani.

Pengurus dan anggota ormas tani jangan hanya petani berdasi, melainkan mencakup pula dan terutama petani miskin, yang berlahan sempit atau tunalahan sama sekali.

Inilah sejumlah tantangan mendasar. Sayangnya, penulis tak begitu yakin solusinya terfasilitasi penuh oleh Munas VII HKTI. Jika ternyata masih jauh panggang dari api dan orang-orang dalam HKTI masih merasa nikmat dengan realitas sekarang, amat beralasan bagi kita—terutama kaum tani Indonesia—untuk berseru: ”Selamat tinggal HKTI!”.

Tantangan selanjutnya ialah bagaimana melahirkan kelembagaan alternatif petani yang secara sosial, ekonomi, dan politik lebih murni mewakili kepentingan petani. Petani perlu wadah yang sanggup menaungi dan memperjuangkan kepentingannya di tingkat lokal, regional, hingga nasional, bahkan internasional secara hakiki minus politisasi.

Dari ribut-ribut perebutan posisi kunci di ormas tani yang sesungguhnya tak sejati, inilah saat bertindak menyudahi politisasi petani demi syahwat elite.

Politik petani ialah politik kebangsaan yang memampukan dirinya berdiri di atas kaki sendiri.

Usep Setiawan Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com