Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Problem Gigantisme Demokrat

Kompas.com - 21/05/2010, 03:29 WIB

OLEH HANTA YUDA AR

Sulit bagi kita untuk tidak mengatakan bahwa faktor utama kemenangan Partai Demokrat di Pemilu 2009 lebih disebabkan kuatnya daya magnet personalitas Susilo Bambang Yudhoyono ketimbang faktor kinerja pengorganisasian mesin partai.

Padahal, partai yang kelahirannya dibidani SBY ini belum genap berusia delapan tahun, tetapi berhasil meraih prestasi elektoral secara gemilang: menjadi pemenang pemilu legislatif—memperoleh suara 20,8 persen dan 148 kursi DPR— sekaligus memenangi pemilihan presiden dalam satu putaran.

Kemenangan spektakuler ini menjadi berita gembira, sekaligus kabar buruk bagi Partai Demokrat karena akan menjadi ”ancaman” bagi masa depan partai. Pasalnya, postur politik elektoral—dukungan suara di pemilu—yang bongsor itu menyebabkan Partai Demokrat mengidap ”politik gigantisme”, suatu kondisi di mana postur elektoral partai sangat besar dalam waktu cepat, tetapi kondisi organisasi kurang sehat.

Hal itu disebabkan bobot politik elektoral ”meraksasa” dalam rentang usia yang relatif pendek, sementara postur kelembagaan—infrastruktur, jaringan, dan sumber daya organisasi—tidak sanggup mengimbanginya.

Efek gigantisme

Seperti halnya manusia yang mengalami gigantisme—kondisi kelebihan pertumbuhan, dengan besar dan tinggi tubuh di atas normal—berisiko mengidap berbagai macam penyakit. Politik gigantisme —imbas dari popularitas dan elektabilitas SBY—yang dialami Partai Demokrat, tentu juga mengandung beberapa risiko komplikasi politik secara bervariasi: problem kepemimpinan akibat ketergantungan pada SBY, ancaman faksionalisme (konflik internal), krisis pengakaran partai, serta problem identitas partai.

Problem kepemimpinan partai muncul akibat ketergantungan Partai Demokrat pada nama besar SBY. Hal ini memang menjadi ”berkah politik”, tetapi sekaligus akan menjadi ”bencana”. Menjadi berkah karena popularitas SBY berkontribusi ”meraksasakan” bobot elektoral partai.

Menjadi bencana karena secara kelembagaan partai jadi sangat bergantung pada SBY. Jika dilihat dari perspektif institusionalisasi partai, ini jelas tak sehat. Kepemimpinan dan pola pengambilan keputusan terpusat pada ”keinginan” SBY sebagai pemilik ”veto” di partai. Problem ini akan menjadi kendala terbesar bagi Partai Demokrat untuk bertransformasi menjadi partai modern dan demokratis.

Ketergantungan terhadap sosok dan karisma SBY juga menyimpan potensi konflik dan faksionalisme internal. Posisi SBY sebagai ”Bapak” bagi semua ”kelompok” dan faksi politik di internal Partai Demokrat menyebabkan elite partai tidak terbiasa menyelesaikan persoalan internal secara mandiri dan terlembaga. Kelemahan penyelesaian secara ”adat”—pendekatan politik patron—menyebabkan sumber konflik itu sendiri tidak pernah tuntas. Kondisi seperti ini akan menjadi ancaman serius bagi Partai Demokrat ketika SBY tidak lagi memiliki kekuatan karisma dan kekuasaan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com