Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Korban Memilih Diam...

Kompas.com - 12/05/2010, 13:29 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Perempuan etnis Tionghoa korban kekerasan seksual dan pemerkosaan massal pada Mei 1998 masih bungkam, seolah tak ingin diingatkan kembali pada peristiwa memilukan itu. Meski begitu, mereka mendambakan realisasi komitmen negara dan masyarakat untuk pemulihan hak mereka.

"Kondisi sekarang, banyak sekali perempuan korban tragedi Mei eksodus ke luar negeri. Itu yang keluarganya mampu. Banyak korban yang pindah dari Jakarta atau Indonesia, minta identitas baru, tidak mau kembali ke Indonesia," ujar Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Andy Yentriyani saat jumpa pers di Komnas Perempuan, Jakarta, Rabu (12/5/2010).

Rata-rata dari mereka tidak mau diingatkan dengan pemerkosaan dan kekerasan seksual yang mereka alami. Bahkan, menurut Andy, perempuan korban Mei tidak mau berhubungan lagi dengan pendampingnya karena dianggap mengingatkan mereka terhadap tragedi itu. Mereka juga memilih bungkam karena, menurut Andy, suara mereka sering kali tidak didengar. "Ketika banyak perempuan korban melakukan testimoni, banyak terjadi penolakan, orang banyak curiga, masa sih ada korban yang bisa menyatakan pangalamannya dengan tegar?" ujar Andy.

Kemudian, saat perempuan-perempuan itu kehilangan kemampuan berbicaranya, lanjut Andy, mereka malah disangka gila. "Saat korban kehilangan omongannya, kemampuan bahasa Indonesia-nya, enggak ada yang mau percaya karena dikira gila," ujarnya.

Bentuk-bentuk penolakan terhadap testimoni perempuan korban tragedi Mei 1998 itu, menurut Andy, masih berbekas di diri korban hingga saat ini. "Mereka enggak yakin kalau sekarang mereka bersaksi. Apalagi diskriminasi terhadap etnis Tionghoa itu pun berakar. Jadi sulit bagi kita mendesak atau mengharapkan korban bisa maju untuk bertestimoni," tuturnya.

Tragedi Mei 1998 membuat korban pemerkosaan dan kekerasan seksual kehilangan teman sosialnya sehingga merasa hidup sendiri. "Ada yang tidak mau diterima oleh suami dan anak-anaknya," kata Andy.

Bahkan, pendamping perempuan korban yang berasal dari aktivis masyarakat, guru, tetangga, atau teman korban itu pun, menurut Andy, ikut bungkam dan terasing dari pergaulan. "Banyak pendamping  kehilangan kepercayaan. Ada yang tidak mau terlibat lagi dalam aktivis sosial politik, ada yang tidak dapat berelasi baik dengan pasangan," ujar Andy.

Untuk itulah, Komnas Perempuan mendesak agar pemerintah mengungkap kebenaran yang memuat upaya pemulihan bagi perempuan korban dan proses peradilan bagi pelaku. "Menurut data tim gabungan pencari fakta, ada sekitar 85 perempuan korban kekerasan seksual dan pemerkosaan tragedi Mei," imbuh Andy.

Minimal, presiden memberikan pernyataan yang mengakui adanya kekerasan seksual dan pemerkosaan yang dialami perempuan dalam tragedi Mei 1998 dan meminta maaf atas kelalaian negara melindungi perempuan.

Komnas Perempuan memperingati Tragedi Mei 1998 yang mengoyak rasa kemanusiaan. Pada 13-15 Mei 1998, terjadi penjarahan dan pembakaran yang mengarah pada komunitas Tionghoa. Dalam tragedi yang akhirnya melengserkan rezim Soeharto itu juga terjadi pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya terhadap perempuan, terutama etnis Tionghoa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Nasional
SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

Nasional
'Presidential Club', 'Cancel Culture', dan Pengalaman Global

"Presidential Club", "Cancel Culture", dan Pengalaman Global

Nasional
Hari Ini, Hakim Agung Gazalba Saleh Mulai Diadili di Kasus Gratifikasi dan TPPU

Hari Ini, Hakim Agung Gazalba Saleh Mulai Diadili di Kasus Gratifikasi dan TPPU

Nasional
Respons Partai Pendukung Prabowo Usai Luhut Pesan Tak Bawa Orang 'Toxic' ke Dalam Pemerintahan

Respons Partai Pendukung Prabowo Usai Luhut Pesan Tak Bawa Orang "Toxic" ke Dalam Pemerintahan

Nasional
Bongkar Dugaan Pemerasan oleh SYL, KPK Hadirkan Pejabat Rumah Tangga Kementan

Bongkar Dugaan Pemerasan oleh SYL, KPK Hadirkan Pejabat Rumah Tangga Kementan

Nasional
Soal Maju Pilkada DKI 2024, Anies: Semua Panggilan Tugas Selalu Dipertimbangkan Serius

Soal Maju Pilkada DKI 2024, Anies: Semua Panggilan Tugas Selalu Dipertimbangkan Serius

Nasional
Kloter Pertama Jemaah Haji Indonesia Dijadwalkan Berangkat 12 Mei 2024

Kloter Pertama Jemaah Haji Indonesia Dijadwalkan Berangkat 12 Mei 2024

Nasional
Saat Jokowi Sebut Tak Masalah Minta Saran Terkait Kabinet Prabowo-Gibran...

Saat Jokowi Sebut Tak Masalah Minta Saran Terkait Kabinet Prabowo-Gibran...

Nasional
'Presidential Club' Ide Prabowo: Dianggap Cemerlang, tapi Diprediksi Sulit Satukan Jokowi-Megawati

"Presidential Club" Ide Prabowo: Dianggap Cemerlang, tapi Diprediksi Sulit Satukan Jokowi-Megawati

Nasional
[POPULER NASIONAL] Masinton Sebut Gibran Gimik | Projo Nilai PDI-P Baperan dan Tak Dewasa Berpolitik

[POPULER NASIONAL] Masinton Sebut Gibran Gimik | Projo Nilai PDI-P Baperan dan Tak Dewasa Berpolitik

Nasional
Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com