Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Pengusaha Kulit Yogya

Kompas.com - 11/05/2010, 10:03 WIB

KOMPAS.com - Hidup itu bagaikan roda berputar. Inilah yang dirasakan pengusaha tas kulit skala kecil dari Yogyakarta, Syaiful Malchan. Usaha tas kulit Syaiful, di bawah naungan A. Syahlan Collection tersebut dirintis orang tua Saiful pada tahun 1975.

"Dulu masih home industry desain sendiri," ujarnya, Minggu (9/5/2010), di Gelar Sepatu dan Produk Lokal 2010, Jakarta. Bahan baku kulit sapi didatangkan dari Magetan, Jawa Timur.

Tahun 1991, Saiful meneruskan usaha ayahnya dan mengembangkannya ke dalam bentuk CV. "Dari situ, saya mulai bidik pasar di luar negeri, ikut pameran di luar, responnya baik," ceritanya.

Alhasil, usaha yang pada awalnya hanya industri rumahan berkembang menjadi industri menengah dengan karyawan 250 orang. Ekspor pun lancar ke Jepang, Taiwan, hingga Spanyol. Petaka datang saat krisis moneter tahun 1997. "Saat itu saya sempat stop karena melihat sepertinya tidak ada jalan keluar dan beralih bisnis ke biro haji dan pakaian muslim," ucapnya kepada Kompas.com.

Ia mengaku pengusaha kulit lain juga banyak yang beralih bisnis ke mebel. Setelah terkumpul modal dari bisnis barunya tersebut, ia pun meneruskan usaha sang ayah. "Tapi kondisi sudah beda. Dulu masih bisa untung 100 persen lebih, sekarang 20 persen saja sudah syukur," ujar bapak tiga anak ini.

Ia menjelaskan pangsa pasar tas kulit sebenarnya internasional, bukan lokal karena daya beli masyarakat Indonesia rendah. "Apalagi saya di daerah, mungkin beda kalau di Jakarta, di sini ramai yang beli," ungkapnya.

Selain daya beli yang rendah, tantangan lain industri produk kulit yaitu banjirnya produk luar seperti dari Cina dengan harga rendah. "Saya sudah turunkan harga serendah-rendahnya, tapi perlu bantuan pemerintah," ungkap dia.

Bantuan pemerintah yang diharapkan lebih ke masalah pemasaran, baik itu pasar nasional maupun internasional. Ke depannya, ia juga berharap pemerintah jangan hanya membantu pengusaha besar, perhatikanlah pengusaha kecil.

"Orang-orang kita itu kreatif, banyak yang bisa produksi, tapi terbatas akses untuk memasarkan. Pemerintah jangan hanya bantu pengusaha besar saja, perhatikan kami juga," ujar pria kelahiran Ponorogo, Jawa Timur ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com