Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemekaran Melawan Efisiensi

Kompas.com - 26/04/2010, 03:58 WIB

Jakarta, Kompas - Maraknya usul pemekaran daerah di Indonesia justru bertentangan dengan kondisi di negara maju, seperti Jepang dan Australia, yang justru sering melakukan penggabungan daerah. Penggabungan membuat efisiensi ekonomi sehingga sumber daya ekonomi di daerah dapat digabungkan untuk pelayanan publik yang lebih baik.

Hal itu dikatakan peneliti Bidang Perkembangan Politik Lokal Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Mardyanto Wahyu Tryatmoko, di Jakarta, Sabtu (24/4). Sebaliknya, pemekaran daerah umumnya terjadi di negara dunia ketiga dengan alasan demokratisasi dan pendekatan pelayanan publik.

Namun, faktor pendorong pemekaran daerah di Indonesia sering kali berbeda dengan kondisi riil. Pada awal pemekaran, warga dan elite menginginkan pelayanan publik di daerahnya maju dan terciptanya demokratisasi lokal. Namun, pemekaran justru menghasilkan oligarki kekuasaan lokal sebagai akibat usulan pemekaran yang juga elitis.

Terbaliknya kondisi itu disebabkan di daerah pemekaran umumnya warga masih apolitis dan jumlah kelas menengahnya sangat terbatas sehingga kurang bisa mengontrol elite yang lain.

”Banyak daerah otonom, baik pemekaran maupun daerah induk, yang sebenarnya layak untuk digabungkan karena tingginya tingkat korupsi, kentalnya oligarki kekuasaan, daya saing yang rendah, hingga ketergantungan daerah pada dana alokasi umum dan dana alokasi khusus dari pemerintah pusat,” katanya.

Pengaruh atas keberadaan daerah otonom yang tidak layak itu bukan hanya terasa di tingkat lokal. Daerah yang tidak layak itu menyedot dana APBN sehingga mengurangi alokasi dana untuk kepentingan publik. Perkembangan daerah baru juga membuat terjadinya ledakan jumlah pegawai yang pasti akan semakin membebani anggaran negara.

Mardyanto mengakui, penggabungan akan menimbulkan resistensi dari elite politik, lokal ataupun nasional, yang diuntungkan dengan pemekaran. Karena itu, wacana penggabungan daerah perlu didorong lewat aspirasi langsung dari rakyat.

Sistem insentif juga perlu diberikan kepada rakyat yang ingin daerahnya digabung dengan daerah lain. Seperti di Jepang, warga yang bersedia daerahnya digabung akan diberi insentif khusus berupa kemudahan dalam berutang atau alokasi pembagian pajak yang lebih besar dibandingkan dengan daerah lain.

Peneliti LIPI lain, Syarif Hidayat, juga menyayangkan penyusunan desain penataan daerah yang lebih menekankan pada penentuan jumlah daerah yang ideal dengan kondisi Indonesia. Penentuan jumlah ideal daerah itu dinilai aneh jika dilakukan untuk mengerem adanya pemekaran daerah. Desain itu justru tidak memungkinkan adanya penggabungan daerah karena akan membuat jumlah daerah lebih kecil daripada jumlah idealnya. (mzw)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com