Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Doclang Tak Lekang Zaman

Kompas.com - 15/04/2010, 18:50 WIB

KOMPAS.com -- Namanya mungkin cukup asing bagi Anda yang tidak tinggal di Kota Bogor. Doclang memang tidak sepopuler makanan khas Bogor lain seperti taoge goreng atau asinan, misalnya. Tetapi penggemar makanan yang tampilannya mirip ketoprak itu banyak juga, lho.

Doclang adalah makanan tradisional khas Bogor yang masih bertahan sejak zaman dulu hingga saat ini. Bisa bertahan tentu karena penggemarnya juga masih banyak. Sebetulnya isi doclang sederhana saja, terdiri atas irisan lontong ukuran besar yang dibungkus daun patat, kentang, tahu, kerupuk, dan telur rebus. Kemudian disiram bumbu kacang yang dicampur aneka macam rempah dan sedikit pedas. Ditambah kecap secukupnya, dan sambal bagi yang suka pedas. Jajanan ini pas untuk sarapan pagi dan juga dinikmati di malam hari. Rasanya gurih dan sedikit manis.

Di Kota Bogor, pangkalan pedagang doclang yang cukup dikenal adalah di daerah pusat jajanan kaki lima Jembatan Merah, Jalan Veteran. Di kawasan itu, sepanjang emperan toko dari ujung Jalan Mantarena sampai samping kios makanan Pasar De Vries sebelah Plaza Jembatan Merah, pedagang doclang mangkal bersama pedagang makanan lainnya. Paling tidak ada lima pedagang doclang dari petang hingga dini hari, mangkal di lokasi tersebut. Selain itu ada juga yang membuka warungnya di daerah Pasir Kuda.

Odik (70) adalah salah satu pedagang doclang yang berjualan sejak tahun 1977 di Desa Gunung Batu namun sekarang pindah di Jalan Aria Surialaga (dulu Jalan Pasir Kuda), tak jauh dari Pondok Pesantren Al-lhya. Sebelum mangkal di daerah tersebut, ayah dari delapan anak ini sempat berjualan keliling dan sempat mangkal di dekat Kompleks Perhutanan. Hanya saja kini usaha tersebut diteruskan oleh tiga putranya.

"Awalnya dulu bapak malah hanya ambil dari orang lain, tapi karena jumlahnya terbatas maka akhirnya membuat sediri. Ibu yang membuat  bumbunya," kata Ismail Marzuki (28), anak kelima Odik.

Salah satu keunikan doclang adalah pada lontongnya. Pembuatan lontong itu tidak memakai daun pisang melainkan daun patat atau limpung sebagai pembungkus. Dari semua pedagang doclang, hanya Odik yang membuat lontongnya tiga kali lipat dari lontong biasa. Ukurannya jumbo, kurang lebih 20 cm x 20 cm.

Dengan bungkus daun patat, lontong akan bertahan lebih lama dan aroma yang dihasilkan juga berbeda. Untuk satu lontong dibutuhkan sekitar 3-4 liter beras. Daun tersebut didatangkan dari Gunung Pongkor. Dalam sehari ia bisa membuat hingga 20 bungkus, namun di akhir pekan mencapai 50 bungkus. "Yang pasti membuat lontong ini dibutuhkan waktu yang cukup lama," ujar Rozak (30), anak keempat dari Odik.

Aroma bumbu kacangnya seperti bau asap, karena sebelum ditumbuk terlebih dahulu disangrai, lalu diambil kulit arinya. Dalam sehari mereka membutuhkan 10 kg kacang. Bumbu kacangnya dibuat dalam lima hari sekali. Rasanya manis karena ada campuran gula merahnya.
Untuk telur, pada hari biasa dibutuhkan sekitar 200-an butir. Hari libur bisa mencapai 500 butir telur. Demikian pula ratusan tahu digoreng dan sejumlah kentang direbus.

"Kalau hari Minggu, ibu-ibu pulang ngaji di Pesantren Al Ihya pada makan doclang di sini dan ada juga yang minta dibungkus untuk oleh-oleh keluarganya di rumah," kata Rozak.
Meski sudah memiliki tempat yang permanen, pikulan yang dulu digunakan sang ayah masih dipakai untuk menempatkan bumbu kacangnya. Harga yang dipatok, dengan telur Rp 7.500 per porsi dan tanpa telur Rp 6.000 per porsi.
   
Jembatan Merah
Selain itu ada doclang Mak lcoh (60), yang pangkalan gerobak dagangannya berada di Jalan Mantarena, samping Toko Terang. Mak Icoh yang melanjutkan usaha almarhum suaminya, Jumahi (meninggal 12 tahun yang lalu), melayani pelanggannya didampingi anak perempuannya Irma dan menantunya.

Pelanggan setia Mak Icoh tak bosan-bosannya menyantap doclang, ditambah lagi konsumen baru yang ingin tahu nikmatnya doclang Mak Icoh. Mereka ada yang makan doclang di tempat dan ada pula yang dibungkus untuk disantap di rumah.

Tiap pagi Mak Icoh berjualan pukul 10.00-11.00. Harga seporsi doclang Rp 6.000 dengan telur. Tanpa telur menjadi Rp 5.000. Menurut Mak Icoh yang bertempat tinggal di daerah Panaragan Kidul, Bogor Tengah, Kota Bogor ini, pelanggannya bukan saja orang Bogor tetapi juga orang luar Kota Bogor. Penyanyi asal Bogor seperti Betharia Sonata, adalah salah seorang penggemar doclang Mak lcoh dari saat sekolah di SMA sampai berkeluarga.

Saat ini Mak lcoh mengaku hanya membuat kupat atau lontong sebanyak 10 bungkus. Tiap bungkus kupat yang dibungkus daun patat ini diiris menjadi sekitar lima piring.
Seorang pedagang doclang lain yang mangkal di pagi hari di depan toko kaset musik di Jalan Veteran adalah Rachmat. Dia bergantian dengan adiknya Rosmana yang jualan di malam hari sekitar pukul 21.00-07.00. Rachmat yang juga pedagang rokok di tempat itu merangkap jualan doclang yang dibuat oleh kakaknya Aos.

Baik Rachmat maupun Rosmana memperoleh upah dari jatah doclang yang disediakan oleh Aos "Setiap dagang saya mendapat upah Rp 30.000 dari kakak saya, demikian pula adik saya" kata Rachmat yang setiap hari diberi jatah 30 lontong itu. Adapun harga jual doclang per piring Rp 4.000 tanpa telur, tambah telur jadi Rp 5.000.

Desa Doclang
Semula Warung Doclang Odik hanya cukup untuk perabot dagangan dan satu bangku panjang. Kini tempatnya lebih luas. Lahan sempit itu ia kembangkan setahap demi setahap, akhirnya mampu membangun warung untuk berteduh pelanggannya menikmati doclang. Bahkan warungnya sudah dilengkapi toilet.

Menurut Ismail, dari usaha doclang ayahnya mampu menghidupi delapan anak. Sejak tahun ini dia juga mampu mengangsur mobil angkot untuk angkutan dagangannya tiap pagi dan selebihnya narik penumpang.

Sementara itu Mak Icoh juga separuh hidupnya menjadi pedagang doclang. Mak Icoh dikaruniai 7 anak, 15 cucu dan 2 buyut. Suaminya dulu menjadi pedagang doclang sejak tahun 1980-an. Sejak dulu hingga sekarang, Mak Icoh hidup dari doclang. Yang bakal menjadi penerusnya kemungkinan besar adalah Irma yang kini sehari-hari mendampinginya.

Dikatakan Ismail, pedagang doclang di Kabupaten/Kota Bogor kebanyakan asal Leuweung Kolot Cibungbulang. "Tiap hari lebih dari 30 pedagang doclang pulang pergi dari kampung ke Kota Bogor jualan doclang. Mereka sebagian besar jual pikulan," katanya.

Hanya Mak Icoh (asal Pasir Mucang Bogor) dan almarhum suaminya (asal Cibadak Sukabumi) yang bukan asal Leuweung Kolot. Dan Rachmat serta adiknya yang asal Cianjur.
Sebagian besar pedagang yang berasal dari Desa Leuweung Kolot mengklaim bahwa desanya adalah desa doclang karena sejak dulu hingga sekarang bertahan menjadi pusat pedagang doclang. Makanan jajanan tradisional ini mampu menghidupi sebagian warga Desa Leuweung Kolot dan tetap bertahan hingga sekarang serta penggemarnya masih bertahan baik di desa maupun di kota.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com