Medan, Kompas -
Demikian antara lain yang mengemuka dalam diskusi publik bertema ”Proteksi Undang- undang Pers bagi Jurnalis/Media dan Publik” di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU). Hadir sebagai pembicara dalam acara ini adalah Rektor UMSU Bahdin Nur Tanjung, Jenderal Konsul Amerika Serikat di Medan Stanley Harsha, Dewan Kehormatan Daerah Persatuan Wartawan Indonesia Sumut War Djamil, dan praktisi hukum Abdul Hakim Siagian. Acara itu dimoderatori oleh Dekan Fakultas Hukum UMSU Farid Wajdi.
Djamil mengemukakan, wartawan perlu memaksimalkan kode etik jurnalistik (KEJ) sehingga
Sepanjang jurnalis berpegang pada kode etik jurnalistik, lanjutnya, dia aman dari sengketa sebab ia bisa mempertanggungjawabkan karya jurnalistiknya atas segala sanggahan, bantahan, dan protes. Selain itu, Djamil dan Hakim mengusulkan agar UU Pers dijadikan sebagai acuan hukum spesial. Artinya, apa pun sengketa yang menyangkut kerja-kerja jurnalis harus diselesaikan berdasarkan UU tersebut.
UU itu sendiri sebenarnya lebih membela publik daripada insan jurnalis. Dalam UU tersebut terdapat dua hak yang diperuntukkan bagi publik, yakni hak jawab dan hak koreksi yang diberlakukan jika publik atau narasumber merasa berita karya jurnalis tidak seimbang, salah, atau merugikan mereka. Adapun jurnalis atau media hanya memperoleh satu hak dalam UU itu, yakni hak tolak. Hak yang digunakan jurnalis untuk tidak menyebutkan identitas narasumber demi melindunginya.
Jalur pengadilan, kata Hakim, sebisa mungkin menjadi langkah terakhir bila sengketa belum teratasi dengan prosedur hak jawab ataupun hak koreksi. Proses pengadilan itu panjang dan mahal, maka perlu dihindari.
”Sayangnya, jika ada sengketa, aparat cenderung menggunakan pasal pencemaran nama baik,” ujar Farid.