Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Urang Sunda dan ACFTA

Kompas.com - 15/02/2010, 15:24 WIB

Oleh USEP ROMLI HM

Terkait dengan heboh soal kawasan perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA), mayoritas urang Sunda di pedesaan tenang-tenang saja. Mereka tidak mengerti teori ekonomi, dumping (banting harga), embargo (boikot), dan sejenisnya. Mereka juga tidak tahu apa itu Sertifikat Nasional Indonesia yang konon menjadi salah satu cara agar produk nasional tidak habis dilindas produk China.

Mereka hanya tahu kerja menghasilkan upah atau keuntungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Cukup sahuap sakopeun dan koreh-koreh cok. Mayoritas urang Sunda, sadar atau dipaksa keadaan, sejak lama menganut prinsip teu naon-naon ku naon-naon, tidak terpengaruh apa pun.

Hal itu bukan karena urang Sunda apatis, melainkan karena terbiasa menghadapi kenyataan sehari-hari hidup mandiri sehingga dalam kondisi apa pun tetap bertahan. Mereka penuh daya tahan dalam menghadapi goncangan berskala lokal, regional, bahkan internasional.

Jampe hirup urang Sunda yang masih terpelihara di tengah gempuran globalisasi adalah tertib, cermat, waspada, dan menerima apa adanya. Ka hareup ngala sajeujeuh ka tukang ngala salengkah. Mereka memandang masa depan tidak terlalu muluk sekaligus tidak terlalu miris, biasa-biasa saja sesuai dengan situasi dan kondisi, karena akan terlampaui juga.

Ikhtiar

Melihat ke belakang, urang Sunda tidak mengenang berlebihan. Mereka tidak nineung, tidak tibelat, biasa-biasa saja. Sebab, semua yang telah lewat hanyalah pengingat. Hal itu dirumuskan dalam peribahasa yang cukup populer, tata titi duduga peryoga, yang menggambarkan ketenangan jiwa dan perilaku sambil tetap berjaga-jaga atas segala sesuatu.

Prinsip rejeki teu pahili-hili, bagja teu paala-ala juga tetap dipertahankan. Sebab, manusia sekadar bisa berikhtiar, bukan penentu keberhasilan atau kegagalan.

Maka, wajar jika para perajin sangkar burung di pelosok-pelosok kampung Kecamatan Selaawi, Kabupaten Garut, tak berhenti berkreasi. Kebutuhan mereka terhadap bambu sebagai bahan baku menjadi pendorong pelestarian tanaman bambu di bukit-bukit sekitar desa.

Rekan-rekan mereka di desa-desa yang berdekatan, sesama perajin bambu, dengan membuat tolombong (bakul), telebug (bakul besar), giribig (alas penjemur gabah), boboko (bakul nasi), dan hihid (kipas nasi), masih tekun pula berproduksi dan memasarkannya. Mereka memikul benda-benda tersebut dari kampung ke kampung yang sedang panen dengan berjalan kaki.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com