Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Soe Hok Gie kepada Generasi

Kompas.com - 23/12/2009, 00:01 WIB

Semua tulisan dalam buku ini sangat kental beraroma keprihatinan atas kemanusian Indonesia di zaman itu. Menunjukan suatu idealisme kaum muda, beserta pula frustasi yang melingkupi zamannya itu.

Tema-tema dalam buku ini sangat beragam. Yang menunjukan antusiasme Gie dan idealismenya sebagai mahasiswa, dan intelektual. Tema yang diangkat antara lain dari soal kebangsaan, masalah kemahasiswaan, masalah kemanusiaan, sampai “catatan turis terpelajar.” Tulisan dalam semua tema itu berisikan  pandangan Gie atas soal-soal yang lebih subjektif seperti misalnya dalam catatan “Saya bukan wakil KAMI” dan gamabaran sisi lain dari sebuah generasi angkatan 66 yang kecewa akibat harapan yang telah di pupuk diantara penipuan-penipuan yang paling kejam, yang akhirnya menimbulkan frustasi yang merata di generasi Gie. Perasaan ditipu (baik oleh kekuasaan, atau kawan seangkatan yang berkompromi dengan penguasa), dikhianati dan lain sebagainya, pada akhirnya melahirkan krisis kepemimpinan dan krisi kepercayaan. Kisah tragis dan ironis dari kekecwaan Gia dan mereka yang Idealis dapat kita lihat dengan jelas dalam catatannya yang berjudul “Sebuah Generasi yang Kecewa” dan ”Generasi yang lahir setelah tahun empat lima.”

Dalam catatan yang disebut terakhir itu misalnya, Gie memberitahu kita suatu ironi zaman, ketragisan suatu “Idealisme” saat harus berhadapan dengan culasnya kekuasaan. Bagaimana idealisme setinggi langit menjadi sia-sia belaka, ketika harus menghadapi verbalisme pejabat, kepalsuan dan kedegilan. Pemuda-pemuda Indoensia yang penuh dengan Idealisme akhirnya hanya punya dua pilihan. Yang pertama tetap bertahan dengan idealisme mereka, menjadi manusia-manusia yang non-kompromistis. Dan orang-orang dengan aneh dan kasihan akan melihat mereka sambil geleng-geleng kepala: ”Dia pandai dan Jujur, tetapi ssayangnya kakinya tidak menginjak tanah.” Atau dia kompromi dengan situasi yang baru. Lupakan idealisme dan ikut arus, bergabung dengan group yang kuat (Partai, ormas, ABRI, klik dan lain-lainnya) dan belajarlah teknik memfitnah dan menjilat. (Hlm.80) itulah sekelumit penggambaran Gie atas angkatannya dan zamannya beserta ironi dan tragiknya.

*****

Sebagai buku yang merangkum catatan seoarang intelektual idealis semacam Gie, buku ini senantiasa memberikan ruang reflektif, dan kesempatan bagi kita yang membacanya untuk melakukan evaluasi dan kritisisme terhadap situasi yang anti Demokrasi dan de humanisasi pada zaman kita sekarang. Banyak kasus dan penderitaan masyarakat kecil yang terjadi bahakan sesudah hampir 10 tahun lebih reformasi, dan sudah barang tentu tugas kita untuk mencatatkannya sebagai usaha menusliskan sejarah mereka yang menjadi korban dari sejarah itu sendiri.

Oleh karenanya persolan-persolan yang diangkat dalam buku ini rasanya masih sangat relevan dengan konteks sekarang ini. Relevansi tulisan-tulisan Gie setidaknya dapat di arahkan kedalam dua konteks. Pertama dalam konteks kebangsaan dimana realitas sosial politik kita hari ini sebenaranya masih dalam suasa krisis kepercayaan dan krisis kepemimpinan dari fase transisi pasca Mei 1998. bangsa ini setelah hampir 10 tahun lebih reformasi berjalan masih linglung, berbangsa tanpa panutan yang bisa dicontoh, yang seharusnya diberikan mereka yang berada di puncak-puncak kekuasaan. Krisis legitimasi ini, menurut Dr. Kuntowijoyo dalam kata pengantar untuk buku ini, terjadi tatkala perilaku yang ada di tingkat kekuasaan—yaitu kekuatan-kekuatan yang secara menyeluruh mendominasi ekonomi, politik, jenjang sosial dan produksi kultural tak mampu lagi jadi panutan masayarakat. Demikianlah hal itu mendorong relevansi tulisan Gie dalam zaman peralihan ini kepada relevansi yang kedua yaitu: menjadi ruang refleksi bagi pertanyaan klasik tentang peran iintelektual terkait ruang geak moral ataukah politik, antara idealisme dan kompromi.

Untuk hal yang terakhir, Gia sudah lama berujar:” Di Indonesia hanya ada dua pilihan, menjadi idealis atau apatis. Dan saya sudah lama memutuskan bahwa saya akan menjadi idealis sampai batas sejauh-jauhnya.” (LP3S, 1983 hal. 221) demikianlah apa yang dikatakan Gia bukan sekedar kepongahan seperti politisi kita hari ini, sebab Gie sudah membuktikannya dalam catatan-catatannya dalam buku ”Zaman Peralihan” ini.

Akhirnya izinkan saya menutup tulisan ini dengan salam hangat dari Soe Hok Gie di buku ini.”Kita semua terdidik untuk berontak terhadap semua kemunafikan. Kawan, apa kabar Indonesia Raya?”

*Sabiq carebesth

Penyair dan Pecinta buku.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com