Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Reformasi TNI Belum Selesai

Kompas.com - 01/12/2009, 03:31 WIB

Jakarta, Kompas - Walaupun sudah banyak perubahan dalam sepuluh tahun terakhir, reformasi TNI masih memiliki kendala berupa budaya dan pola pikir militer. Reformasi TNI harus dituntaskan guna pemurnian TNI menjadi tentara profesional untuk pertahanan.

Demikian disampaikan dua pengamat pertahanan, Ikrar Nusa Bhakti dan Letjen (Purn) Agus Widjojo dalam pelatihan ”Advokasi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Keamanan Indonesia” yang diadakan Imparsial di Jakarta, Senin (30/11).

”Yang paling susah adalah budaya dan tingkah laku militeristik.” kata Ikrar. Walaupun sudah banyak hal yang menuju ke profesionalitas TNI, masalah budaya yang sudah mengakar berpuluh-puluh tahun terkadang masih menjadi kendala.

Empat agenda

Agus Widjojo, mantan Kepala Staf Teritorial TNI, memaparkan, ada beberapa agenda reformasi TNI yang belum tuntas. Pertama, berkaitan dengan gelar kewilayahan yang sesuai dengan fungsi pertahanan dan kaidah demokrasi. ”Harusnya DPR dan masyarakat sipil berteriak begitu ada rencana pendirian kodam (komando daerah militer) baru. Untuk apa dan kenapa didirikan, harus ada penjelasan. Jangan sampai tentara bangun kekuatan lebih besar tanpa diketahui DPR,” kata Agus menyinggung rencana pembentukan Kodam di Papua.

Kedua, transformasi pola pikir dwifungsi TNI dari penjaga bangsa menjadi tentara profesional sesuai mandat konstitusi. Ketiga, struktur organisasi. Keempat, sistem pendidikan TNI.

Menurut Agus, harus ditegaskan bahwa TNI hanya menangani isu pertahanan, yaitu yang berhubungan dengan ancaman militer dari luar negeri. Masalah ancaman dari dalam negeri hanya diatasi dengan pendekatan penegakan hukum. ”Kalau Polri membutuhkan bantuan TNI, tidak bisa Polri minta langsung karena Polri dan TNI sama-sama sebagai pelaksana semata,” kata Agus.

Ikrar Nusa Bhakti, peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, menekankan, tujuan akhir dari reformasi TNI adalah upaya mengembalikan TNI dalam ranah profesionalnya dalam bidang pertahanan. TNI dan Polri berada di bawah kekuasaan kontrol demokratis, dalam hal ini oleh pejabat yang dipilih rakyat.

Kontrol obyektif

Parameter dari reformasi TNI adalah adanya kontrol demokratik. Kontrol itu harus bersifat obyektif, tidak seperti pada masa Orde Baru, yaitu kontrol bersifat subyektif dan dilakukan hanya oleh Presiden.

”Masalah alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI yang tertinggal sekarang adalah akibat dari bertahun-tahun yang lalu TNI sibuk dengan politik dan bisnis militer,” kata Ikrar.

 

Menurut dia, untuk profesionalisme ini memang dibutuhkan alokasi anggaran, di antaranya untuk alutsista dan remunerasi. Besarnya anggaran militer yang ideal, menurut dia, sebesar Rp 50 triliun-Rp 60 triliun. ”Sekarang anggaran militer kita per tahun baru Rp 40 triliun. Masih di bawah normal itu,” kata Ikrar.

Selama ini, paradigma masyarakat selalu menyerahkan masalah keamanan juga pada TNI. Menurut Agus Widjojo, pola pikir masyarakat sipil juga menjadi kendala. Amandemen UUD 1945 yang mengubah Bab Pertahanan menjadi Pertahanan dan Keamanan menjadi salah satu kendala penting. Demikian juga tentang penanggulangan teror. Hingga kini Presiden belum membuat keputusan politik untuk penanganan terorisme.(EDN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com