Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Maskapai Melakukan Kartel?

Kompas.com - 05/11/2009, 08:02 WIB

Namun, di langit kita, pertarungan makin ketat. Ketika iklan penerbangan bertebaran di media massa maupun iklan luar ruang, hal itu mengindikasikan adanya kompetisi yang ketat.

Ada perang tarif pada saat sepi, sebaliknya tiket melonjak saat liburan dan Lebaran. Persoalannya, apakah masyarakat paham bahwa ”perang tarif” menunjukkan tidak kondusifnya keuangan maskapai atau fuel surcharge dipungut agar maskapai tidak merugi?

Tahun 2008, Garuda mencetak laba Rp 669 miliar atau naik 11 kali lipat dibandingkan tahun 2007. Laba Garuda ini seolah membenarkan tudingan bahwa para operator meraup laba kelewat tinggi lewat fuel surcharge walau utang Garuda sendiri pun menembus angka Rp 3 triliun.

Pengamat penerbangan, Dudi Sudibyo, menduga laba Garuda tidak sepenuhnya dari keuntungan operasional. ”Mungkin disumbang penjualan kantor Garuda di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta,” katanya.

Optimalisasi fuel surcharge oleh operator dipahami Widijastoro Nugroho, Direktur Marketing-Distribusi Indonesia AirAsia, dan Direktur Umum Lion Air Edward Sirait sebagai ekses dari tarif dasar yang tak pernah dievaluasi. Mungkin, Keputusan Menhub No 9/2002 masalahnya.

Sungguh irasional bila tarif dasar penerbangan saat ini dipatok di harga tahun 2002 saat harga avtur Rp 2.700 per liter.

Bagaimana maskapai melanjutkan bisnisnya? Jadi, kini ketika avtur Rp 7.000 per liter dan pernah menembus Rp 14.000 per liter tahun 2008, salahkan bila maskapai ”menggantungkan hidup” pada fuel surcharge?

Bagaimana supaya fuel surcharge tak berfluktuasi liar? Solusinya, fuel surcharge masuk ke komponen tarif sehingga dapat ”dikunci” dengan batas atas.

Sementara itu, Pajak Pertambahan Nilai dan premi asuransinya di luar tarif batas karena nilainya relatif tak banyak berubah. Jadi, ada dua perkara besar di langit kita. Pertama, pembuktian kartel fuel surcharge. Bila terbukti, boleh jadi ada pengembalian uang ke konsumen. Kedua, revisi tarif dasar meski jangan memberatkan konsumen.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com