Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nasionalisme Dari Yogyakarta

Kompas.com - 29/10/2009, 17:52 WIB

Ketiga, kesadaran realistik, yakni berpikir realistis dengan parameter-parameter yang terukur. Bangsa ini telah banyak melahirkan intelektual dan ilmuwan yang menguasai berbagai disiplin keilmuan. Namun sayang, mereka orang-orang cerdas tersebut melaju tanpa parameter yang terukur sehingga kehilangan kesadaran realistis, mana yang dibutuhkan, mana yang diutamakan, dan tindakan apa yang harus dilakukan.

Dalam konteks ini, tentu kepentingan rakyat adalah prioritas utama dibandingankan dengan agenda-agenda derivatif lainnya. Semua manuver politik, strategi kebudayaan, atau sinergi ekonomi harus bermuara pada satu prinsip, yaitu kepentingan rakyat. Itulah yang dimaksudkan dengan kesadaran realistis, yakni mampu bertindak riil, apa yang dibutuhkan oleh rakyat sebagai panglima kehidupan berbangsa dan bernegara, tanpa harus kehilangan kesadaran idealis. Kata Th Sumartana, "Idealisme tanpa pijakan realisme menjadikan orang pemimpi sekaligus pembohong, sedangkan realisme tanpa dilandasi dengan nilai-nilai idealisme menjadikan orang hidup tanpa martabat."

Untuk sekadar mengenali posisinya saja, kaum muda Indonesia abad ke-21 sudak kehilangan arah. Di manakah letak sesungguhnya kaum muda, dan harus di mana dan bagaimana berperan? Letak dan posisi yang dimaksud adalah di manakah titik perjuangan dalam sejarah perjalanan panjang bangsa Indonesia yang berliku. Anak-anak muda kita sungguh telah mabuk sejarah, apalagi harus menganalisis kekuatan (strength), kelemahan (weakness), dan juga peluang (opportunity) dan tantangan (treatment) apakah yang sedang dihadapi. Mereka semua yang menjadi tumpuan estafet kepemimpinan nasional sedang dibius oleh keperkasaan ideologi industri yang mematikan spirit nasionalisme.

Di balik itu semuanya, anak-anak manis bangsa Indonesia memiliki keunggulan yang luar biasa. Jumlah anak muda kita yang lebih kurang 37,8 persen dari total penduduk Indonesia memiliki multiple intelligence. Dari beragam kecerdasan itulah, seharusnya nasionalisme bangkit kembali. Guru saya, Emha Ainun Nadjib, pernah menggagas "etnotalentologi" pada sekitar tahun 1980-an. Etnotalentologi itu suatu ilmu atau cara pandang mengenai kemampuan (talenta) yang berdasarkan pada etnis kedaerahan. Kemampuan atau kecerdasan anak-anak kita itu beragam, sangat kaya talenta yang masing-masing lahir dengan membawa keunikan tanah kelahirannya. Anak yang lahir di Papua memiliki kecerdasan berbeda dengan anak-anak di Jawa. Begitu juga keterampian teknologis anak-anak Jepara berbeda dengan yang dimiliki anak-anak Madura. Semuanya unggul, tidak ada yang nomor satu atau nomor sekian. Hanya mereka butuh dihargai potensi atau talenta masing-masing yang tidak bisa dipisahkan dari pergulatan kebudayaan tanah kelahirannya (struggle of culture).

Dengan demikian, mereka bisa menemukan Indonesia dari Madura, mengindonesiakan Indonesia dari Yogya, memiliki nasionalisme gaya Minang, atau pula mencintai Tanah Air-nya dari talenta kedaerahan masing-masing. Kita bisa menemukan Indonesia di dalam kekhusyukan gereja orang Nasrani, kita juga bisa melahirkan Indonesia dari pesantren, NU, Muhammadiyah, atau Indonesia juga bisa muncul cemerlang dari para pedagang atau kaum terpelajar. GUGUN EL-GUYANIE Ketua Departemen Agama dan Ideologi PW GP Ansor DI Yogyakarta

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com