JAKARTA, KOMPAS.com —
Menurut Bibit, Antasari-lah peretas dimulainya rencana perekayasaan kriminalisasi terhadap dia dan Chandra. Dikatakan Bibit kegabahan Antasari yang menemui Anggoro Widjojo di Singapura, setelah korupsi kasus pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) Masaro Radiokom di Departemen Kehutanan dan 33 Departemen lainnya, termasuk Polri dan Kejaksaan Agung. Sejak tahun 1985 kasus itu terendus KPK. Hal itu menyebabkan pejabat kejakasaan Agung dan Polri berusaha menghentikan penyidikan SKRT tersebut, khususnya bagi mereka yang tidak mau kasus itu akhirnya terkuak ke publik.
Antasari, yang waktu itu termasuk pejabat Kejaksaan Agung, dinilai Bibit turut mencicipi korupsi pengadaan SKRT oleh Masaro. Hal itu dianggap ilegal karena tidak melalui proses tender. Antasari lalu menemui Anggoro untuk meredam penyidikan kasus yang bermula dari penyidikan KPK terhadap kasus korupsi alih fungsi hutan untuk Pelabuhan Tanjung Api-Api di Sumatera Selatan dengan tersangka Yusuf Emir Faisal. Ini dilakukan karena diketahui membahayakan Kejaksaan Agung dan Polri. "Ya itu," tegas Bibit mengenai peranan Antasari selaku peretas jalan kriminalisasi yang dilakukan pejabat tinggi Polri dan Kejaksaan Agung terhadap dia dan Chandra M Hamzah.
"Penyidikan kami terkait dengan SKRT dianggap berbahaya sehingga orang macam saya ini kira-kira tak disenangi, dan akhirnya dibeginikan (dijebak sehingga jadi tersangka). Saya tentunya enggak terima dibeginikan. Dan itu deputinya, Direktur Penyidikannya dulu Pak Ade Raharja. Masih mereka juga ehingga enggak ada bedanya antara jilid II dan I. Apa pun kebiasaan yang mereka lakukan, ini kita lanjutkan. Tapi kemarin (jilid I) tidak dibeginikan. Jika sekarang yang dipersoalkan itu (penyidikan Masaro), maka kenapa baru sekarang?" ujar Bibit mengomentari penjebakan terhadap dirinya yang dilakukan pejabat Kejaksaan Agung dan Polri, beberapa hari lalu.
Hal senada diungkapkan Taufik Basyari, penasihat hukum Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. "Arahnya memang itu, seperti itu," ujarnya kepada Persda Network.
"Serangan yang paling keras kepada kami ketika kasus Anggoro mulai kami garap. Tanggal 7 Juli 2009 jadi DPO, dikirim surat ke Bareskrim. Pada 10 Juli, Kabareksrim ke sana. Tahunya dari siapa? Dari dia sendiri saat datang ke KPK tanggal 15 Juli. Kenapa dia ke KPK? karena ada isu bahwa pimpinan KPK mau ditangkap karena laporan penyuapan atau pemerasan yang dilaporkan oleh Anggoro atau adiknya, Anggodo, atau melalui pengacaranya. Ada di antara tiga itulah. Kapolri menjelaskan itu tidak benar. Kabarnya, paginya pimpinan Polri itu rapat, terus sorenya dia ngutus Susno ke KPK. Dia (Susno) cerita waktu itu," sambung Bibit menjelaskan kronologi awal kriminalisasi terhadap dirinya dan Chandra M Hamzah.
Wakil Kepala Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Sulistyo Ishak mengakui adanya pengadaan jaringan komunikasi di tubuh Polri. "Ya ada, tapi seingat saya namanya bukan SKRT," tuturnya. Sulistyo mengaku tidak ingat kapan tepatnya Polri menggunakan jaringan komunikasi. Namun, Sulistyo membantah penanganan kasus dugaan pemerasan Anggoro oleh pimpinan KPK, yang akhirnya membuat kedua pimpinan menjadi tersangka, dilakukan atas kerja sama pengadaan SKRT dengan Masaro.
Sumber Persda Network di kepolisian membenarkan keberadaan Masaro sebagai rekanan pengadaan SKRT di tubuh Polri. Menurut sumber, SKRT di tubuh Polri diadakan oleh Motorola, yang merupakan arkom dari Masaro. "Tapi kasusnya sudah di-SP3 dari lama," ucapnya. Audit BPK terhadap pengadaan SKRT Masaro yang tidak hanya ada di Departemen Kehutanan menunjukkan bahwa pengadaan itu sarat pelanggaran hukum karena tidak melalui proses tender dan pelaksanaannya tidak pernah diawasi.
Sementara itu, Ary Muladi, tersangka kasus penipuan dan penggelapan aliran dana suap dari Anggoro Widjojo kepada pimpinan KPK, secara mengejutkan mengakui adanya upaya rekayasa pemidanaan kedua pimpinan yang dilakukan oleh oknum pejabat Kejaksaan Agung dan Polri. "Ya, dia mengaku pernah dipanggil oleh oknum seorang jaksa ke Kejaksaan Agung untuk bertemu dengan jaksa itu, awal-awal pemeriksaan, sekitar bulan Juli," ujar Sugeng Teguh Santoso, penasihat hukum Ary Muladi saat dihubungi Persda, Minggu (25/10).
Ary Muladi lalu disuruh untuk mengakui adanya pemberian uang sejumlah Rp 5,1 milliar kepada pimpinan KPK dalam testimoni 15 Juli, yang merupakan pengakuannya bersama Anggodo Widjojo dalam pemeriksaan perdana yang dilakukan penyidik terhadapnya. Padahal, menurut Ary, seperti dituturkan Sugeng, pemberian uang sebesar Rp 5,1 milliar kepada pimpinan KPK itu tidak pernah dilakukannya. "Ary dalam tekanan (saat mengakui dan menandatangani dokumen 15 Juli) waktu itu oleh penyidik dan Anggodo. Itu pengakuan, yang buat Anggodo, Ary hanya dipaksa menandatangani," ungkap Sugeng.