JAKARTA, KOMPAS.com - Dewan Perwakilan Rakyat harus menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Pengisian dan Penetapan Pejabat Sementara Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal itu karena perppu tersebut melemahkan KPK.
Menurut anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Ferry Mursyidan Baldan, KPK yang merupakan lembaga mandiri menjadi di bawah kendali presiden.
”Dengan perppu tersebut, tidakkah menjadikan tiga lembaga hukum, meski tidak langsung, yaitu Polri, Kejaksaan, dan KPK, berada di bawah kendali presiden?” ujarnya, Rabu (23/9).
Namun demikian, mengingat masa tugas DPR periode 2004-2009 akan berakhir pada 30 September 2009 ini, perppu tersebut akan dibahas oleh DPR periode 2009-2014 yang akan dilantik 1 Oktober 2009.
Karena itu, Ferry juga mengingatkan DPR mendatang agar segera mengagendakan pembahasan perppu setelah menyelesaikan pemilihan perangkat alat kelengkapan di DPR, baik itu pimpinan DPR, fraksi, dan komisi.
”Saya khawatir DPR yang baru belum akan sempat mengagendakan, sebelum perangkatnya selesai ditetapkan pimpinan DPR, fraksi, komisi,” ujarnya.
Kegentingan memaksa
Perppu yang dikeluarkan Presiden Yudhoyono itu juga tidak memenuhi persyaratan adanya kondisi kegentingan memaksa. Terlebih lagi dengan ditundanya pengangkatan pengisian pejabat oleh presiden.
Menurut Ferry, yang seharusnya dilakukan presiden justru meminta penjelasan langsung dari Polri terkait penanganan dugaan penyalahgunaan wewenang pimpinan KPK. Hal itu karena sebagai institusi, Polri berada di bawah presiden.
Kalaupun ingin menerbitkan perppu, seharusnya berisi tetap dimungkinkannya pimpinan KPK melakukan tugas dan fungsinya, bahkan jika hanya dengan satu atau dua orang.
Wajib disampaikan
Secara terpisah, guru besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menilai, penerbitan perppu tersebut akan menjadi buah simalakama bagi DPR. Sesuai konstitusi, perppu wajib disampaikan kepada DPR untuk ditolak atau disetujui menjadi undang-undang.
”Apabila DPR menolak, maka keabsahan yang telah diputus oleh pimpinan KPK, termasuk yang berstatus pelaksana tugas, akan dipertanyakan legitimasinya,” kata Hikmahanto.
Persoalan juga muncul apabila DPR menyetujui penentuan pimpinan sementara KPK oleh presiden secara sepihak itu.
Artinya, DPR melanggengkan langkah presiden. Konsekuensinya, di dalam tubuh KPK ada pimpinan yang direkrut secara independen dan ada yang ditunjuk presiden.
Mantan anggota Panitia Seleksi Pimpinan KPK 2007-2011 itu menyebutkan, kondisi ini berpotensi menimbulkan kekisruhan dalam mengambil keputusan. Pimpinan KPK yang ditunjuk presiden akan berhadapan dengan pimpinan KPK yang direkrut secara independen.
”Jika diterapkan di kondisi sekarang, dipastikan dua orang yang direkrut secara independen akan kalah voting dengan tiga orang yang ditunjuk presiden,” Hikmahanto menambahkan. (idr/sut)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.