Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tim 5 Bukan "Boneka"

Kompas.com - 24/09/2009, 06:41 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Tim Lima, yang membantu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, jangan jadi boneka atau tameng bagi eksekutif.

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat antikorupsi mengingatkan, tim yang dibentuk Presiden itu bukanlah boneka atau tameng kekuasaan eksekutif. Tim jangan mau dikontrol dan diintervensi dalam melaksanakan tugas.

Tim juga diminta memilih calon pelaksana tugas pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bebas (tanpa toleransi) dari korupsi dan antiintervensi politik. Penetapan pejabat sementara pimpinan KPK itu diperlukan setelah Presiden menandatangani peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) menyusul ditetapkannya Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah sebagai tersangka dalam dugaan penyalahgunaan wewenang. Keduanya harus nonaktif dari kepemimpinan KPK meski sangkaan Polri itu masih menimbulkan perdebatan.

Seruan kepada tim itu secara bersamaan disampaikan Indonesia Corruption Watch (ICW), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, serta Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) di Jakarta, Rabu (23/9).

Percepat proses hukum

Peneliti hukum ICW, Febri Diansyah, menjelaskan, tim itu harus memakai syarat ketat dalam penunjukan pejabat sementara pimpinan KPK. Mereka mengajukan kriteria, antara lain, bukan orang dari kalangan dekat Presiden Yudhoyono, tidak dapat diintervensi pihak yang memiliki kepentingan politik atau terafiliasi dengan partai politik tertentu, serta bukan pejabat aktif di kepolisian dan kejaksaan. Selain itu, pelaksana tugas pimpinan KPK juga harus berintegritas, memiliki rekam jejak yang baik, termasuk belum pernah membela koruptor (jika pengacara).

Febri menambahkan, tim itu juga harus mengecek laporan harta kekayaan calon. Tim harus memilih orang yang memiliki kekayaan yang wajar.

Firmansyah Arifin dari KRHN mengatakan, konsekuensi penunjukan langsung itu berdampak kepada siapa yang akan menjadi ketua KPK. ”Apakah penunjukan itu akan menjawab persoalan itu? Penunjukan ketua KPK harus melibatkan DPR. Ini harus dijawab,” katanya.

Secara terpisah, Rabu di Jakarta, guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, berpendapat, Presiden sesungguhnya memiliki sejumlah opsi untuk memberikan kepastian pada kepemimpinan KPK. Selain penerbitan perppu yang diikuti pembentukan tim untuk menyeleksi calon pejabat sementara pimpinan KPK, Presiden bisa meminta kepolisian mempercepat proses hukum (penyidikan) terhadap Bibit dan Chandra.

Dengan percepatan penyidikan, dapat diketahui dengan pasti status keduanya. Jika ditingkatkan menjadi terdakwa, Chandra dan Bibit, sesuai dengan Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, diberhentikan selamanya dari KPK. Kondisi serupa bisa diterapkan kepada Ketua KPK Antasari Azhar yang dinonaktifkan karena diduga terlibat dalam pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. Jika mereka diberhentikan tetap, bisa dilakukan seleksi untuk pimpinan KPK.

Jika tak ada bukti melakukan penyalahgunaan wewenang, Bibit dan Chandra harus dibebaskan. ”Opsi untuk Presiden di luar perppu terbuka luas,” ujar Hikmahanto.

Dapat kelayakan

Sebelumnya, Presiden Yudhoyono, Rabu, menandatangani keputusan presiden (keppres) tentang pembentukan tim yang akan memberikan rekomendasi nama calon yang akan menjadi pelaksana tugas pimpinan KPK. Keppres ditandatangani Presiden beberapa jam sebelum meninggalkan Tanah Air untuk melakukan kunjungan kerja selama sembilan hari di Amerika Serikat.

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Widodo AS dalam keterangan pers di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu, menjelaskan, Presiden ingin agar nama yang diangkat sebagai pejabat sementara pimpinan KPK itu mendapat kelayakan dan dipercaya kredibilitasnya oleh masyarakat. Karena itu, Presiden membentuk tim yang akan membantunya.

Menurut Widodo, yang didampingi Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalatta, tidak mudah untuk memilih nama pejabat sementara pimpinan KPK itu. Karena itu, sebelum ditetapkan, Presiden juga perlu meyakini nama itu benar-benar memiliki kelayakan, baik dalam arti menempati posisi itu serta melaksanakan tugas, peran, dan fungsinya maupun kelayakan dalam aspek kepercayaan masyarakat.

Widodo mengatakan, tim yang akan memberikan rekomendasi itu terdiri dari lima orang, yakni dirinya, Andi Mattalatta, anggota Dewan Pertimbangan Presiden Adnan Buyung Nasution, mantan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki, dan advokat Todung Mulya Lubis.

”Tim diberi waktu tujuh hari dan diminta melaporkan hasilnya kepada Presiden pada 1 Oktober 2009,” kata Widodo. Tim akan mengadakan rapat pertama hari Kamis ini.

Widodo membenarkan, tim itu diberikan keleluasaan mencari nama dari berbagai latar belakang dan sumber sebelum diusulkan kepada Presiden. ”Tim diberi kelonggaran untuk mengeksplor nama calon yang akan direkomendasikan kepada Presiden. Yang penting, nama itu layak menjalankan tugas dan fungsinya serta dapat dipercaya masyarakat. Yang akan direkomendasikan tim ada tiga nama,” katanya.

Hatta mengatakan, pelantikan tiga unsur pimpinan sementara KPK itu diharapkan bisa dilangsungkan pada 2 Oktober 2009.

Terkait dengan nasib tim bila Polri mengubah status tersangka Bibit dan Chandra menjadi bebas, Hatta menjawab, bisa saja tim berhenti. Bisa juga pejabat sementara pimpinan KPK yang ditetapkan berhenti jika memang proses hukum atas Bibit dan Chandra tidak berlanjut.

Mulya Lubis mengaku mengetahui penunjukan dirinya sebagai anggota tim dan bersedia melaksanakan tugas itu. Ia mengaku dihubungi Menteri Sekretaris Negara pada Selasa malam.

Mulya Lubis berjanji menjaring semua pendapat dan aspirasi publik terkait rencana penunjukan pejabat sementara pimpinan KPK itu. ”Komitmen kita kan sama, untuk menyelamatkan KPK dan melanjutkan pemberantasan korupsi,” paparnya. (ana/idr/har)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Nasional
Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk 'Presidential Club' | PDI-P Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo'

[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk "Presidential Club" | PDI-P Sebut Jokowi Kader "Mbalelo"

Nasional
Kualitas Menteri Syahrul...

Kualitas Menteri Syahrul...

Nasional
Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang 'Toxic' ke Pemerintahan

Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang "Toxic" ke Pemerintahan

Nasional
Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Nasional
Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Nasional
Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Nasional
Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Nasional
Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com