Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sakia Sunaryo, Penjaga Setia Ludruk

Kompas.com - 15/09/2009, 18:49 WIB

Oleh Masuki M. Astro

Bau khas masyarakat kelas bawah di perkotaan; amis dan apak, akan menyambut siapa pun yang datang ke markas Ludruk Irama Budaya di kawasan Pulo Wonokromo, Surabaya.

Setelah melewati pintu bergambar dua penari "ngremo" yang sudah tidak utuh, bau tak sedap dari kandang kera langsung menyergap. Tempat pentas sekaligus "rumah" bagi kru ludruk itu terbuat dari kayu dengan fasilitas kursi kayu berderat panjang.

Lewat samping kandang kera ke timur, kemudian naik ke lantai dua, akan bertemu dengan Sakia Sunaryo, pimpinan Irama Budaya.

Nuasa magis tergambar di ruangan sekitar empat kali 10 meter itu. Di tempat yang berisi sesajen dan kembang rupa warna itu Sakia menerima tamu. Di sebelah utara adalah kamar pribadi sang bos besar Irama Budaya tersebut.

"Dari inilah sebagian kebutuhan Irama Budaya saya penuhi," kata Sakia suatu malam di sela-sela menerima tamunya.

Maksudnya dari profesi paranormal itu sebagian kebutuhan pemain ludruk yang umumnya berasal dari luar Surabaya itu dipenuhi, seperti makan, bedak dan lipstik, serta listrik.

Ia tidak memberikan penjelasan rinci berapa kebutuhan untuk semua itu dalam setiap bulan. Semua dikelola secara tradisional dan tidak pernah terdokumentasikan.

"Saya ini Islam mas, tapi saya harus melestarikan warisan wali songo juga," katanya melanjutkan.

Profesi membantu orang lewat paranormal itu diakui dia sebagai warisan dari para wali penyebar agama Islam di tanah Jawa.

Ludruk Irama Budaya yang banyak "menghasilkan" orang pandai karena melakukan penelitian di tempat itu memang berdiri di atas semangat. Karenanya semua tantangan, khususnya finansial,  tidak akan menjadi alasan kelompok ini bubar.

Vibrasi terkuat dari semangat komunal kelompok yang berdiri sejak 1987 itu berasal dari Sakia Sunaryo, sebagai pendiri sekaligus pimpinan.

"Saya tidak rela kalau Surabaya ini tidak ada ludruk. Ludruk Irama Budaya ini tidak akan pernah roboh kecuali saya robohkan sendiri," katanya.

Lelaki yang berpenampilan perempuan ini bertekad untuk terus menghidupkan Ludruk Irama Budaya, karena kesenian itu sudah mendarah daging dalam tubuhnya.

Semangat dari seniman kelahiran Kapas Krampung, Surabaya, itulah yang membuat Irama Budaya menjadi satu-satunya kelompok ludruk tobong di Kota Pahlawan itu yang masih hidup.

Meskipun demikian, ia menyadari bahwa semua upaya dirinya untuk memenuhi kebutuhan kelompok ludruk tersebut tidak akan mampu. Karena itu, ia berharap agar ada perhatian dari pemerintah kota atau pihak-pihak lain yang seharusnya menghidupkan seni tradisi.

Terutama untuk menutupi biaya sewa tempat pentas sekaligus tempat tinggal para pemain yang kini berada di pinggir Kalimas itu. Sakia harus mengeluarkan uang Rp8 juta per tahun untuk sewa tempat seluas sekitar 10 x 10 meter itu.

"Kalau hanya mengandalkan tiket yang Rp4.000, wah, setengah mati untuk hidup. Untuk membayar biaya listrik saja susah. Setiap kontrak gedung ini mau habis, saya pusing karena harus mengemis-ngemis mencari sumbangan," katanya.

Pekerjaan yang jika untuk kepentingan pribadi itu sangat dianggap aib oleh Sakia, terus dikerjakannya setiap menjelang habis waktu habis sewa.

Ia mengaku harus menutupi rasa malunya ketika meminta-minta ke pejabat Pemkot Surabaya untuk kebutuhan uang kontrak gedung. Sementara untuk menghidupi para pemain yang berjumlah 60 orang, ia banyak mengandalkan profesi memberi advis kepada para tamu yang ingin hajatnya terkabul.

Pada musim hujan juga berpengaruh pada tingkat kunjungan penonton. Kalau biasanya setiap malam bisa pentas, saat hujan  mereka hanya pentas pada malam Minggu. Setiap pentas malam Minggu, kelompok itu ditonton rata-rata 100 orang.

"Dari penghasilan sebagai paranormal, saya juga bisa membantu teman-teman menghidupi anak isterinya. Ke-60 pemain Irama Budaya berasal dari berbagai daerah di Jatim, seperti Mojokerto, Sidoarjo, Jombang, Banyuwangi, Jember dan lainnya," katanya.

Seniman tulen itu kini mengaku lega karena untuk sewa enam bulan ke depan dibayar kepada pemilik gedung seharga Rp4 juta. Sakia dan kawan-kawan menempati lokasi itu sejak sekitar 3,5 tahun lalu. Sebelumnya mereka pindah-pindah.

Mengapa tidak menyewa satu tahun? "Saya berharap Pemerintah Kota Surabaya nantinya memberikan tempat di THR yang kini kosong bisa ditempati Irama Budaya," kata lelaki yang biasa dipanggil emak itu karena berpenampilan seperti perempuan.

"Daripada dibiarkan kosong, kan lebih baik bisa kami gunakan untuk pentas. Kalau soal makan, saya tidak khawatir, karena ayam saja dengan mengandalkan kedua kakinya bisa makan, apalagi manusia. Tapi ’kandangnya’ (gedung) ini lho yang memang berat," katanya.

Perjuangan lelaki yang belajar ludruk sejak 1970-an dan sempat mendirikan ludruk tobong di berbagai tempat di Surabaya itu agaknya belum mendapatkan perhatian berarti.

Misalnya, belum ada penghargaan yang diterima dari buah perjuangannya itu, termasuk penghargaan seniman Jatim dari Gubernur Jatim yang bisasanya diberikan setiap menjelang Idul Fitri.

Padahal, menurut pengamat seni, Henry Nurcahyo, Sakia sangat layak menerima penghargaan atas dedikasinya itu. Hanya saja, kata dia, kemungkinan soal waktu saja.

Praktek

Kalau saja pemerintah daerah memberikan sedikit perhatian kepada grup ini dengan menyisihkan sedikit dana yang biasa dikucurkan untuk kegiatan olah raga, maka Sakia dan kawan-kawan tidak perlu selalu resah.

Karena keterbatasan ekonomi itu pulalah, sebagaimana diakui oleh peneliti ludruk Agus Koecink bahwa masih banyak waria muda anggota Irama Budaya yang praktek di jalanan seusai pentas tengah malam.

Kalau kelompok itu dibiarkan hidup alamiah, maka ludruk tobong yang menjadi oase di tengah hiruk pikuk kota besar di Surabaya lambat laun karena akan hilang.

Energi Sakia dan para pemainnya lambat laun akan terus melemah dimakan usia. Perlunya regenerasi seniman ludruk tidak akan tercapai jika bermain di kesenian itu hanya akan mengukuhkan seseorang sebagai masyarakat kelas bawah.

Peneliti kesenian ludruk dari Universitas Jember (Unej) Drs Akhmad Taufik MPd mengemukakan bahwa saat ini, kesenian ludruk, secara umum memang mengalami masalah regenerasi.

"Sekarang tidak banyak generasi muda yang mau menjadi pemain ludruk. Salah satu faktornya mungkin karena kesan bahwa ludruk itu ’ndesa’ atau ketinggalan zaman," katanya.

Sekretaris Pusat Penelitian Madura dan Jawa pada Lembaga Penelitian (Lemlit) Unej itu juga sepakat bahwa perlu ada campur tangan pemerintah daerah untuk melestarikan kesenian khas Jawa Timur ini.

"Selama ini saya melihat, pemerintah daerah kurang perhatian pada kesenian ini," katanya.

Ada harapan yang mungkin bisa membuat lega kelompok Irama Budaya ketika Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kadisbudpar) Kota Surabaya, Dra Wiwiek Widayanti berkeinginan menjadikan kesenian tradisional, seperti ludruk bisa dijual dalam paket kapal pesiar.

"Kami berharap tahun 2010 kapal pesiar itu bisa merapat di Surabaya. Kami akan menjual paket wisata yang di dalamnya ada kesenian tradisional," katanya seusai membuka sebuah lokakarya kesenian ludruk di Gedung Cak Durasim.

Ia mengemukakan, pihaknya saat ini sedang melakukan berbagai upaya percepatan menyambut Pasar Asia, yaitu ketika  turis asing akan datang menggunakan kapal pesiar. Disbudpar Surabaya telah membagikan semua informasi mengenai potensi pariwisata kota itu ke berbagai instansi.

Menurut dia, melalui pembinaan semacam lokakarya itu, semua elemen kesenian di Surabaya nantinya betul-betul siap menyambut kedatangan wisatawan asing. Pihaknya kini melakukan pendataan terhadap kelompok-kelompok seni di masing-masing kecamatan.

"Ternyata peminat ludruk dan grup ludruk masih ada di Surabaya. Anak-anak muda, khususnya siswa ternyata juga banyak yang menaruh minat pada kesenian tradisi. Jadi, ludruk dan seni tradisi lainnya di Surabaya ini tidak mati, cuma perlu pembinaan yang optimal," katanya.

Saat ini, katanya, Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Taman Hiburan Rakyat (THR) memiliki program pengembangan kampung kesenian yang bisa disinergikan dengan pola pengembangan yang dilakukan oleh Disbudpar.

Mengenai keberadaan Irama Budaya yang merupakan satu-satunya kelompok ludruk tobong yang masih eksis di Surabaya, pihaknya mengatakan tidak bisa menjanjikan bantuan dalam bentuk materi, karena pemerintah saat ini memang sedang dalam kondisi keterbatasan dana.

"Mungkin yang bisa kami bantukan adalah memberi akses untuk tampil di tempat lain. Selain itu, minimal kami sudah mendengar bagaimana kondisi grup ludruk tersebut saat ini. Kami terus melakukan komunikasi dengan kelompok tersebut," kata Wiwiek Widayanti.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com