JAKARTA, KOMPAS.com — Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diminta berhati-hati dalam menugaskan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk ikut terlibat dalam penanganan terorisme. Apalagi jika hal itu dilakukan tanpa didasari produk aturan hukum yang jelas atau malah sekadar diperintahkan secara lisan.
Penugasan militer secara serampangan dalam penanganan terorisme dikhawatirkan tidak hanya menimbulkan perbenturan kewenangan dengan Kepolisian RI (Polri), tetapi bukan tidak mungkin malah berbenturan dengan prinsip penegakan hak asasi manusia. Pernyataan tersebut disampaikan Ketua Komisi Nasional HAM Ifdhal Kasim dan sejumlah anggota Komisi I seperti Sidharto Danusubroto dan Andreas Pareira dari Fraksi PDI-P dan Theo L Sambuaga dari Fraksi Partai Golkar, Senin (24/8), saat dihubungi Kompas.
"Harus diingat TNI tidak dilatih untuk menegakkan hukum, melainkan untuk bertempur melawan musuh. Dikhawatirkan mereka akan kembali seperti di masa lalu saat militer masih banyak berurusan dan ikut campur dengan persoalan masyarakat sipil," ujar Ifdhal.
Menurut Ifdhal, seharusnya kalangan militer bisa menarik banyak pelajaran dari sejumlah pelanggaran HAM masa lalu yang terjadi akibat mereka masih terlibat aktif dan ikut campur persoalan-persoalan sipil. Pelanggaran macam itu rentan terjadi kembali ketika misalnya, TNI kembali mengejar, memburu, serta menangkapi orang-orang sipil yang masih diduga pelaku terorisme. Apalagi jika koridor hukum untuk melakukan semua tindakan tersebut tidak jelas.
"Memang dalam UU TNI diatur soal operasi militer selain perang untuk menangani terorisme. Namun, hal itu tetap harus diperjelas lagi dengan aturan main yang jelas seperti aturan pelibatan (rule of engagement), batasan, serta bagaimana perannya nanti terhadap fungsi dan kewenangan Polri," ujar Ifdhal.
Dalam kesempatan terpisah, Sidharto mengingatkan, UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme adalah produk hukum lex specialis di mana kewenangan ada di tangan kepolisian dalam konteks penegakan hukum. Kewenangan mulai dari menangkap, menahan, menginterogasi, menyita, menyegel, atau pro justicia lainnya.
"Lha, kalau TNI memangnya kalau mereka tangkap, interogasi, lalu hasilnya mau diserahkan ke mana? Belum lagi semua masalah itu dipastikan terkait dengan HAM. Apalagi militer bukan bagian dari proses hukum (pro justicia)," ujar Sidharto.
Lebih lanjut Sidharto juga mengkritik keras pernyataan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, yang seperti diwartakan sebelumnya, menyatakan ada tidaknya putusan politik untuk TNI dalam hal penanganan antiteror sebagai sebuah perdebatan legal formal yang mubazir. Bahkan militer Amerika Serikat, mereka menggelar perang terhadap terorisme tidak di negaranya sendiri tapi di Afganistan, Pakistan, dan Irak.
"Kalau di dalam negeri tetap ditangani institusi sipil yang namanya Homeland Security Department pascaperistiwa serangan 911 dengan menterinya malah seorang wanita," ujar Sidharto.
Hal senada juga disampaikan Andreas Pareira dan Theo L Sambuaga. Keduanya menegaskan perlunya produk hukum hitam di atas putih sebagai dasar pelibatan militer dalam upaya penegakan hukum pemberantasan kejahatan terorisme.
"Perintah yang didasari produk hukum yang jelas dari pemerintah justru untuk melindungi TNI sebagai pelaksana amanat. Jangan sampai prajurit TNI di lapangan nanti yang akan disalahkan jika terjadi kesalahan. Saya kira cara-cara kerja masa lalu harus ditinggalkan," ujar Andreas.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.