JAKARTA, KOMPAS.com — Suasana ”tak nyaman” itu makin terasa karena ada informasi Rabu kemarin, Kejaksaan Agung dan Polri menggelar koordinasi untuk membahas sejumlah kasus yang diduga melibatkan pejabat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selanjutnya, pukul 15.00, sejumlah pimpinan dan pejabat KPK akan menjadi tersangka untuk dua kasus. Pertama, dalam kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen, yang antara lain menjadikan Ketua KPK nonaktif, Antasari Azhar, sebagai tersangka dan ditahan Polri. Kedua, kasus dugaan suap dalam pengusutan korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan. Dalam kasus ini, pejabat KPK dikabarkan menerima suap dari PT Masaro yang merupakan rekanan dalam proyek itu. Secara terpisah, Jaksa Agung Hendarman Supandji, Rabu malam di Kejagung, Jakarta, mengakui bahwa memang ada rencana pertemuan dengan jajaran Polri. Namun, pertemuan itu tertunda. Rabu, Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Inspektur Jenderal Hadiatmoko datang ke Kejagung. Kedatangannya itu diduga terkait berbagai kasus yang diduga melibatkan sejumlah pejabat KPK. Namun, Hendarman menyatakan, kedatangan Hadiatmoko dalam rangka koordinasi biasa terkait kasus di Batam, Kepulauan Riau. Suasana di Kantor KPK, Rabu siang, bertambah hangat ketika sejumlah penggiat gerakan antikorupsi datang ke KPK. Mereka antara lain praktisi hukum Todung Mulya Lubis, Patra M Zen, dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Teten Masduki (Transparansi Internasional Indonesia), Bivitri Susanti (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan), serta Emerson Yuntho dan Febri Diansyah dari Indonesia Corruption Watch (ICW). Teten menyatakan, tiga wakil ketua KPK yang ditemuinya, yaitu Bibit Samad Rianto, Chandra M Hamzah, dan M Jasin, dengan tegas mengatakan tidak menerima suap dari PT Masaro seperti yang diisukan selama ini. ”Kami juga melihat tudingan yang selama ini ditujukan kepada pimpinan KPK tak memiliki bukti kuat. Jika mereka tetap diproses hukum, masyarakat dapat melihatnya sebagai upaya balas dendam karena KPK mencium adanya kasus korupsi yang diduga melibatkan petinggi Polri. Kepala Polri harus menjelaskan masalah ini,” kata Teten. Teten juga melihat proses hukum terhadap pimpinan KPK sebagai upaya pelemahan dan pendelegitimasian komisi itu.