Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masyarakat Klaim Sebagian Kawasan TNWK sebagai Tanah Adat

Kompas.com - 11/05/2009, 21:08 WIB

BANDAR LAMPUNG, KOMPAS.com — Sekitar 300 warga dari tiga desa yang berbatasan dengan kawasan Taman Nasional Way Kambas atau TNWK, Lampung Timur, berunjuk rasa di kantor balai. Mereka mengklaim tanah seluas 2.900 hektar yang selama ini mereka tanami singkong sebagai tanah adat mereka dan mendesak pihak TNWK menyerahkan tanah tersebut kepada mereka.

Jamhuri, perwakilan masyarakat adat dari Desa Rajabasa Induk Lama, Rantau Jaya, dan Sukadana, Senin (11/5), mengatakan, masyarakat di tiga desa itu sudah menggarap lahan yang berbatasan dengan kawasan TNWK sejak 1999. Masyarakat desa mengklaim, mereka menggarap di tanah marga yang sudah dimiliki masyarakat adat sejak lama.

Di kawasan yang berbatasan dengan TNWK tersebut, masyarakat adat Desa Rajabasa Induk Lama mengklaim memiliki 1.200 hektar, Desa Rantau Jaya memiliki 700 hektar, dan Desa Sukadana memiliki 1.000 hektar. Kepemilikan lahan adat tersebut berdasarkan pengukuran kawasan pada 1938.

Pada 1999, pengelola TNWK mengukur ulang luas kawasan. Berdasarkan pengukuran 1999, kawasan tanah adat masyarakat masuk ke dalam kawasan TNWK. Pada saat yang bersamaan, masyarakat masuk dan menggarap lahan di kawasan yang mereka klaim sebagai tanah adat tersebut. Berbagai upaya kemudian dilakukan pengelola TNWK untuk menurunkan petani di kawasan TNWK.

"Pada saat masih terjadi permasalahan antara masyarakat dengan TNWK mengenai kepemilikan lahan, Gubernur Lampung waktu itu, Oemarsono, memerintahkan masyarakat untuk tetap menggarap lahan sambil penyelesaian masalah berjalan," ujar Jamhuri.

Masyarakat menganggap kepemilikan berdasarkan klaim tersebut terancam hilang menyusul upaya pengelola TNWK mengeluarkan petani penggarap dari lahan tersebut dan menghentikan kegiatan bertani. Dalam unjuk rasa tersebut, masyarakat di tiga desa menuntut pengelola TNWK untuk mengukur ulang luasan kawasan TNWK. Masyarakat juga menuntut pengelola TNWK mengembalikan hak tanah adat mereka.

Secara terpisah, Kepala Balai TNWK John Kenedi mengatakan, tuntutan masyarakat tersebut merupakan tuntutan lama dari empat desa. Menteri Kehutanan sudah menolak tuntutan klaim tanah adat atas tanah kawasan TNWK itu melalui SK pada 2001 dan 2002. "Menteri tetap menolak adanya perambahan di kawasan TNWK," ujar John.

Penolakan kembali dipertegas pada 2009, tepatnya dengan terbitnya SK dari Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Surat tersebut juga menolak perambahan dan kawasan TNWK harus dibersihkan dari perambahan.

Menurut John, upaya tersebut patut dilakukan karena pada perkembangannya masyarakat tidak hanya menggarap lahan yang termasuk dalam kawasan TNWK tersebut. "Namun, masyarakat juga sudah mulai menyewakan lahan yang mereka klaim tersebut. Catatan kami sekitar 6.000 hektar lahan TNWK sudah digarap masyarakat dan disewakan," ujar John.

Terkait dengan unjuk rasa tersebut, pihak TNWK tetap menerima aspirasi masyarakat dan akan merundingkannya dengan Departemen Kehutanan. "Akan tetapi, terkait dengan upaya penurunan perambahan, kami akan tetap mengosongkan lahan yang digarap masyarakat," ujar John.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com