Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tarik-menarik yang Belum Tentu Usai

Kompas.com - 19/02/2009, 00:25 WIB

Tri Agung Kristanto

Sejumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat periode 1999-2004 sampai sekarang masih ”bergerilya” menolak perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Padahal, perubahan konstitusi itu, selama tahun 1999-2002, juga dilakukan dan disahkan MPR.

Mereka menilai perubahan UUD 1945 itu menimbulkan ketidakpastian pemerintahan. Bahkan, krisis yang terus terjadi di negeri ini adalah bagian dari kesalahan mengubah konstitusi.

Gerakan mereka juga didukung sejumlah partai politik dan organisasi kemasyarakatan (ormas). Mereka menghendaki kita kembali ke UUD 1945, seperti sebelum perubahan. Pemuda Pancasila adalah salah satu ormas yang sejak semula menolak perubahan terhadap UUD 1945. Sebab, perubahan itu juga mengubah sistem pemerintahan di negeri ini dari presidensiil menjadi tak jelas ”jenis kelamin”-nya. Walau tetap menyebut sistem presidensiil, ternyata parlemen lebih dominan.

Penolakan terhadap proses perubahan UUD 1945 sebenarnya berlangsung sejak usulan perubahan itu diajukan. Bahkan, pada akhir proses perubahan, setelah perubahan keempat pada 2002, seperti ditulis Kompas, 10 Agustus 2002, Ketua Fraksi TNI-Polri MPR Slamet Supriyadi maju ke podium dan berpidato. Fraksinya tidak berniat menghambat proses amandemen UUD 1945, tetapi menarik usulan pembentukan Komisi Konstitusi dalam aturan tambahan UUD 1945. Juru bicara Fraksi TNI-Polri, Cristina Rantapena, sebelumnya mengingatkan, jangan menjadikan Indonesia sebagai sebuah laboratorium demokrasi.

Dengan perubahan konstitusi itu, memang terasa nuansa uji coba demokrasi di negeri ini. Apalagi, jika perubahan UUD 1945 dikaitkan dengan Pancasila. Memang dalam proses perubahan disepakati Pembukaan UUD 1945 yang memuat sila-sila Pancasila tak mengalami perubahan apa pun. Tetapi, sejak reformasi, orang menjadi jarang berbicara mengenai makna Pancasila dan UUD 1945 untuk membantu bangsa ini keluar dari krisis yang terus terjadi sejak 1998. Pancasila dan konstitusi sebagai hukum dasar di negeri ini seperti terlupakan.

Memang bisa dimengerti jika UUD 1945 seperti dilupakan. Rakyat tak lagi hafal dan paham dengan konstitusinya. Karena, sesungguhnya yang berlaku di Indonesia saat ini bukanlah UUD 1945, seperti yang dilahirkan pembentuk negara ini, melainkan sebuah konstitusi yang relatif baru.

Kalau dibedah, dari keseluruhan UUD 1945, hanya 5 persen yang tidak berubah. Jika dilihat pasal per pasal, yang tak berubah hanya 11 persen dan 89 persen di antaranya berubah. Dari ayat per ayat, yang berubah mencapai 85 persen. Jadi, secara keseluruhan, yang sedang dilakukan dengan perubahan pertama sampai keempat konstitusi adalah pembaruan dalam empat tahap. Artinya, yang terlahir adalah konstitusi baru.

Memang konstitusi baru yang lahir itu tak berani mendorong perubahan sistem pemerintahan dari presidensiil menjadi, misalnya, parlementer. Alasannya tidak hanya ideologis, melainkan juga historis, teoretis, dan politis. Kita memiliki romantis historis yang sangat antiparlementer dan antinegara serikat, meskipun secara teoretis hal itu bisa diperdebatkan.

”Pertarungan” belum usai

Meskipun dilakukan secara terbuka serta berusaha melibatkan dan memahami kehendak rakyat, sampai sekarang memang sering kali perdebatan penafsiran terhadap UUD 1945 hasil perubahan tidak pernah selesai. Karena memang tak ada satu UUD pun yang sama dan tidak ada satu konstitusi pun di negara mana pun yang sesuai dengan teori bernegara yang selama ini dipelajari dan dipahami. Konstitusi harus sesuai dengan latar belakang sejarah pembentukan negara itu.

Pada hakikatnya, UUD adalah kristalisasi bukan saja pemikiran dari mereka yang memiliki kewenangan untuk mengubah konstitusi, tetapi juga disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan tuntutan kebutuhan masyarakatnya. Dengan kondisi itu, tentu saja pengaturan DPD dalam Pasal 22C UUD 1945 hasil perubahan tahun 2001 bisa saja berubah. Ide penguatan wakil daerah yang sempat bergulir di DPR, meski akhirnya kandas gara-gara kurang dukungan, bisa saja akhirnya menjadi kenyataan. Kedudukan DPD bisa sama kuatnya dengan DPR.

Juga keinginan memunculkan calon presiden dari jalur perseorangan atau nonpartai politik, yang kandas di Mahkamah Konstitusi pada Selasa (17/2), bisa saja menjadi kenyataan. Tetapi, hal ini tentu saja sangat bergantung pada kehendak rakyat karena, sekali lagi, konstitusi adalah cerminan kehendak rakyat. Apalagi, perubahan konstitusi bukan sesuatu hal yang dilarang di negeri ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com