Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bernadette, Menciptakan "Obama" di Indonesia

Kompas.com - 22/11/2008, 07:30 WIB

”Indonesia pada zaman Soekarno, rasa menjadi satu bangsa amat kental. Walaupun kita miskin, tapi bangga menjadi orang Indonesia. Sekarang justru set back karena kita tak mengikuti perkembangan zaman dan pengetahuan. Aturan tak tertulis masih sering mengemuka bahwa untuk jadi gubernur atau bupati harus putra daerah, padahal harusnya kompetensi yang lebih penting.”

Bernadette pernah bekerja cukup lama (1976-2003) sebagai dosen tetap di Fakultas Psikologi UI sebelum menjadi Rektor Atma Jaya (2003-2007). Ketika bertugas di Lembaga Psikologi Terapan (LPT) UI di Salemba (1994-1998), ia melakukan penelitian di bidang kepemimpinan korporasi bersama Center for Corporate Leadership (CCL).

”Saya tertarik masalah kepemimpinan secara umum, bukan hanya korporat. Karena itu, saya mencoba mencari jawaban mengapa hanya sedikit kaum muda dan sarjana Indonesia yang tampil menjadi pemimpin. Jawabnya, sistem pendidikan dan budaya kolektivisme kita tidak mendidik kaum muda kota untuk percaya diri.”

Ia banyak mewawancarai tokoh-tokoh yang berhasil. Mereka umumnya tidak terlalu tinggi capaian akademiknya, tetapi aktif di kemahasiswaan sehingga memiliki kemampuan dalam persuasi dan keterampilan sosial.

”Harusnya 10-15 persen mahasiswa kita nantinya bisa menjadi pemimpin jika sistem pendidikan kita sengaja dirancang agar siswa dan mahasiswa tidak hanya melulu belajar saja.”

Pemegang kekuasaan

Dalam pidatonya, Bernadette menyatakan, masyarakat dengan power distance yang tinggi menganggap wajar bahwa mereka yang memiliki status tinggi memiliki kekuasaan lebih besar dibandingkan orang dengan status rendah. Sebuah negara kolektivis dengan power distance tinggi, seperti Indonesia, ditandai kecenderungan untuk berorientasi pada pemegang kekuasaan dan relasi yang sifatnya hierarkis.

Kecenderungan ini menyebabkan individu yang dibesarkan pada budaya seperti itu menjadi takut untuk mengambil keputusan yang berbeda dari keinginan kelompok-dalamnya (in-group). Oleh karena itu, jauh lebih sulit bagi seorang pemimpin dalam budaya kolektivistik untuk melakukan tindakan yang benar tetapi tidak populer.

Soeharto yang oleh sebuah parpol disandingkan dengan banyak pahlawan nasional dan guru bangsa, menurut Bernadette, dalam dua-tiga Pelita pertama memang dapat mendorong kemajuan ekonomi Indonesia dengan memanfaatkan dimensi power distance yang tinggi ini.

Hanya, sayangnya, dalam perkembangan lebih lanjut, budaya kolektivisme dengan power distance tinggi ini tidak disikapi dengan tepat sehingga keputusan yang diambil cenderung memprioritaskan kelompok-dalamnya saja, dan bukan kepentingan bersama yang mengatasi batas-batas kepentingan kelompoknya sendiri.

Tokoh seperti Obama, menurut dia, selain memiliki visi jauh ke depan dan sangat inspiratif, juga memiliki dua kualitas lain yang menentukan apakah orang-orang yang dipimpinnya mau memercayai dan mau mengikutinya. Ia memiliki integritas serta nilai menghargai martabat manusia dan nilai mendahulukan kepentingan yang lebih besar.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com