Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Zaenal Beta, Melukis dengan Tanah Liat

Kompas.com - 07/11/2008, 22:26 WIB

Oleh Reny Sri Ayu Taslim

Sore itu, di Benteng Rotterdam, Makassar, Zaenal Beta dengan cekatan mencampur tanah dengan air dalam wadah-wadah kecil. Saat kekentalan cukup, lelaki ini langsung mengoles permukaan kertas dengan larutan tanah liat. Ia mengambil potongan bambu tipis berbentuk segi empat. Berpacu dengan waktu dan teriknya mentari, ia melukis. Dalam sekejap, lukisan salah satu sudut Benteng Rotterdam pun selesai.

Melukis dengan tanah liat, itulah yang dilakukan Zaenal Beta selama 28 tahun ini. Meski ia juga bisa melukis dengan cat air dan cat minyak, juga membuat karikatur, poster, sampai patung.

Menurut dia, dalam sebuah pameran di Taman Ismail Marzuki tahun 1986, pelukis kenamaan Affandi menyebut lukisannya sebagai ide yang kreatif dan sebuah penemuan.

”Affandi mengoleksi satu lukisan saya. Sebagai penghargaan, ia memberi sebuah sketsa diri. Itu pengalaman paling berkesan. Affandi adalah pelukis yang saya kagumi. Lebih senang lagi karena ia menyebut lukisan tanah liat saya sebagai penemuan,” kata lelaki bernama asli Arifin ini tentang pertemuannya dengan Affandi pada 1986 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Kendati boleh dikata baru dialah pelukis yang menggunakan tanah liat sebagai media lukisan, tak mudah membuat lukisan tanah liat bisa diterima.

”Pertama kali menggunakan tanah liat untuk melukis, banyak yang bilang saya gila. Katanya, lukisan saya tak bisa dikomentari karena tak ada dalam literatur yang bisa menunjukkan alirannya,” katanya.

Sempat dikucilkan, ia tak putus asa. Segala cara dilakukannya untuk memperkenalkan lukisan tanah liat. Berpameran sendiri, walau hanya di sudut kecil area Pameran Pembangunan, ia lakukan setiap tahun. Ia juga rajin ikut pameran di luar Makassar, terutama di Pulau Jawa.

Baru pada tahun 2000 lukisan tanah liatnya bisa diterima sesama seniman maupun kolektor. Di Makassar, lukisan Zaenal Beta dipajang di hotel-hotel berbintang. Ia juga mendapat berbagai penghargaan, antara lain dari Philips Morris karena masuk 60 besar dalam kompetisi seni lukis se-ASEAN, juga menjadi juara ketiga di Beijing dalam Lomba Poster Pemberdayaan Perempuan.

”Kalau berpameran, saya memilih pameran yang memiliki kurator. Ini penting agar karya saya diberi komentar,” kata Zaenal.

Sejak kecil

Bagi Zaenal, melukis boleh dikata panggilan jiwa, bakat, sekaligus takdir. Merasa melukis itu bakat, karena ia senang menggambar sejak usia sembilan tahun. Kendati orangtuanya melihat bakat Zaenal, mereka tak bisa menerima kenyataan anaknya menekuni bakat itu.

Sebagai satu-satunya lelaki dari 12 bersaudara (dua saudara lelakinya sudah meninggal), Zaenal sangat diharapkan menjadi tumpuan keluarga. Orangtuanya ingin ia sekolah, lalu menjadi pegawai. ”Impian” orangtua masa itu pada umumnya.

Patuh pada orangtua sekaligus ingin menekuni bakat, Zaenal tetap bersekolah dan diam-diam ia suka ke Benteng Rotterdam untuk bergabung dengan para pelukis. Selama duduk di bangku SMP, secara diam-diam pula Zaenal mengikuti kursus di Sanggar Jumpandang.

Selepas SMP, ia melanjutkan ke SMA sesuai keinginan orangtua. ”Saya ingin belajar di sekolah yang juga memberi pelajaran melukis. Namun, saya tak berhasil menemukannya,” kata pria yang sampai lima kali masuk-keluar SMA berbeda-beda itu.

Padahal, setamat SMP, di tempat dia kursus melukis, Zaenal juga menjadi pembina dan sering ikut mengajar anak-anak melukis serta membuat karikatur. Ia juga kerap mengikuti pameran dan membuat banyak lukisan.

Agar orangtua tak tahu aktivitas melukisnya itu, ia memakai nama Zaenal Beta, tak menggunakan nama lahirnya, Arifin. Hasil lukisannya pun disembunyikan di Benteng Rotterdam.

”Lama-kelamaan saya tak tahan juga. Tahun 1980, kepada orangtua saya katakan tak ingin lagi sekolah dan hanya ingin melukis. Saya minta pengertian dan restu mereka,” ceritanya.

”Setelah itu, saya tinggalkan rumah selama enam tahun, berkelana ke berbagai tempat hingga kembali lagi pada 1986,” tambah Zaenal.

Menemukan ide

Dalam ”pelariannya” itulah ia tanpa sengaja menemukan ide melukis dengan tanah liat. Awalnya, ia diminta ikut berpameran dan menyanggupinya. Namun, karena sibuk mengajar anak-anak melukis, Zaenal lupa pada janjinya.

Begitu panitia meminta hasil karyanya untuk dipamerkan, ia kaget. Maka, di tengah waktu yang terbatas dan hujan deras, ia tetap membawa kertas-kertas gambar ke sanggar. Malam itu ia bertekad membuat dan menyelesaikan lukisan.

”Sialnya, saat hampir tiba di sanggar, kertas yang saya pegang jatuh. Saya bingung, tak tahu lagi di mana bisa mendapatkan kertas pada tengah malam. Saya berpikir sambil mengusap-usap permukaan kertas yang berlepotan tanah, mencoba membersihkannya. Lalu saya lihat, hasil usapan saya seperti membentuk gambar,” katanya.

Penasaran, dia mencoba menggambar di atas kertas bertanah itu. Saat itu juga muncul ide untuk mengikutkan lukisan tanah pertamanya di pameran. Beragam komentar muncul atas lukisan itu. Ada yang terkejut, mengkritik, memandang sinis, bahkan menyebutnya gila.

Namun, justru sejak itulah Zaenal mantap bereksplorasi dengan lukisan tanah liat. Dia mencoba berbagai tanah di mana pun ia pergi. Dari proses pencarian ini, ia menemukan bahwa tiap tempat mempunyai jenis tanah yang khas, baik kekentalan, warna, maupun kehalusannya.

Melukis dengan bantuan potongan bambu kecil juga ditemukan Zaenal secara tak sengaja. Suatu saat, sepotong bambu kecil jatuh menimpa lukisannya yang masih basah. Saat ia hendak mencabut bambu itu, tampak goresan yang lalu menginspirasinya untuk menjadikan bambu sebagai alat bantu dalam menggores lukisan tanah liat.

Ciri khas lain lukisan Zaenal adalah cap jempol. Katanya, ide memberi cap jempol pada setiap lukisannya pun tak sengaja. ”Suatu hari saya ingin memindahkan lukisan yang masih basah. Tak sengaja jempol ini menyentuh ujung bawah kanvas. Saya khawatir mengganggu lukisan, jadilah cap jempol itu menjadi bagian lukisan,” katanya.

Masih ada obsesi Zaenal yang belum tercapai. Ia ingin melukis dengan menggunakan tanah liat dari semua provinsi di Indonesia. ”Bentuk lukisan sudah terbayang, medianya sudah ada, tinggal tanahnya saja. Minimal satu kilogram tanah dari setiap provinsi. Saya ingin lukisan itu nantinya bisa mengisi Museum Nasional,” ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com