Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Siti Rukayyah, Pelestari Tenun Ikat Kediri

Kompas.com - 24/10/2008, 07:21 WIB

Oleh Runik Sri Astuti

Ketika diperkenalkan dengan kerajinan tenun ikat Kediri, Jawa Timur, 17 tahun silam, Siti Rukayyah bersikap biasa saja. Namun, lambat laun, ia jatuh hati dan tak rela melihat warisan leluhur itu di ambang kepunahan. Dibantu suaminya, Munawar, ia berjuang mencari terobosan untuk menghidupkan kembali kerajinan yang pernah menopang perekonomian warga Kota Kediri ini.

Ada beberapa hal yang dilakukan Rukayyah untuk mengorbitkan kembali tenun ikat kediri, di antaranya menambah varian produk berbahan tenun sehingga konsumen punya pilihan lebih banyak. Sebab, sejak lama perajin tenun ikat kediri hanya memproduksi sarung. Akibatnya, saat produk sarung pabrikan menyerbu pasar dengan harga lebih murah dan motif amat variatif, sarung tenun tak mampu bersaing.

”Untuk mencuri hati konsumen, saya memproduksi tenun ikat dalam berbagai bentuk kain, tak hanya sarung. Ini supaya bisa digunakan untuk bahan baju, tas, sandal, sepatu, dan mukena,” katanya.

Inovasi lain yang dia lakukan adalah menciptakan lebih banyak varian motif tenun. Sejak 1991, awal Rukayyah menggeluti tenun ikat, sudah ratusan motif dia ciptakan. Mulai dari motif tumbuh-tumbuhan, binatang, hingga lambang Kota Kediri, sedangkan urusan pewarnaan berada di tangan Munawar.

Rukayyah juga tak jemu mengikuti sejumlah pameran industri di dalam negeri untuk memopulerkan produknya. Ia juga melakukan ”studi banding” industri tenun di Bali. Maka, industri tenun ikat yang mengandalkan tenaga manusia dan alat tenun bukan mesin (ATBM) ini mulai bangkit.

Produk tenun buah tangan warga Kelurahan Bandar Lor dan Bandar Kidul, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, mulai terlihat lagi di sejumlah toko di berbagai kota besar di Tanah Air. Tenun ikat kediri mulai dicari konsumen.

Seiring dengan meningkatnya permintaan, Rukayyah mulai kewalahan melayani pesanan, walaupun dia sudah berkali-kali meningkatkan kapasitas produksi dengan menambah perajin. Jumlah perajinnya 25 orang, ini belum termasuk perajin yang bekerja di rumah masing-masing. Total perajin yang membantu dia sekitar 40 orang.

Setiap hari ia memproduksi sedikitnya 15 kain tenun ikat dari benang sutra maupun non- sutra. Harga per potong kain produknya bervariasi, dari Rp 110.000 sampai jutaan rupiah.

Penghargaan

Dua tahun berturut-turut, Rukayyah dinominasikan sebagai penerima penghargaan Upakarti tingkat nasional atas upayanya melestarikan tenun ikat kediri. Akan tetapi, dua kali itu pula ia gagal mendapatkannya.

Kendala yang dihadapi usaha kecil menengah seperti Rukayyah adalah masalah administrasi keuangan yang tak rapi. Ia memang tak pernah mengenyam pendidikan tentang manajemen keuangan. Bagi pengusaha sekaligus perajin seperti Rukayyah, hal terpenting adalah dana mengalir lancar.

Anugerah

Tahun 2008, Pemerintah Kota Kediri melalui Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Pertambangan menganugerahinya penghargaan untuk kategori pelestari dan pengembangan motif dan desain kerajinan tenun ikat kediri.

Penghargaan ini menjadi pelecut semangat Rukayyah untuk berkarya lebih baik. Ia juga makin terpacu untuk segera memperbaiki sistem manajemen usahanya.

”Perbaikan manajemen ini tak semata untuk mendapat penghargaan. Saya sadar, manajemen keuangan sangat penting untuk mengembangkan usaha,” ujarnya.

Rukayyah sebenarnya tak punya ikatan kultural dengan tenun ikat kediri. Bahkan, ia nyaris mewujudkan cita-citanya menjadi guru, setelah berhasil merampungkan pendidikan program Diploma II di Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa Surabaya, tahun 1991.

Perkenalannya dengan kerajinan tenun ikat berawal dari ketidaksengajaan. Ia gagal menjadi guru setelah menikah dengan Munawar, seorang perajin tenun ikat di Bandar Kidul.

Tak bisa hanya berdiam di rumah, Rukayyah mencoba membantu usaha suaminya. Seiring berjalannya waktu, Rukayyah semakin tertarik menekuni kerajinan tenun ikat warisan keluarga Munawar. Kecintaannya pada keluarga dan usaha yang ditekuni melahirkan pengabdian yang tulus.

Bagi Rukayyah, mengembangkan kerajinan tenun ikat tak sekadar untuk melestarikan budaya. Menurut dia, dengan menghidupkan kembali tenun ikat, berarti menghidupkan pula ekonomi masyarakat Kota Kediri dan memberikan solusi terhadap masalah pengangguran.

Untuk mewujudkan keinginannya tersebut, ia tak merasa lelah merangkul generasi muda agar tertarik menekuni kerajinan tenun, walaupun berkali-kali usahanya itu mendapat penolakan.

”Alasan mereka banyak, ada yang bilang industri tenun belum menjanjikan, ada lagi yang bilang kalau tenun itu cocoknya untuk orang tua. Sebagian orang muda masih berpandangan, bekerja di pabrik atau merantau ke Jakarta lebih menjanjikan,” katanya.

Semangat juang

Semangat juangnya yang tak kenal menyerah dalam mendekati generasi muda akhirnya membuahkan hasil. Sebagian lulusan sekolah menengah atas yang tak mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi mulai menggeluti kerajinan tenun ikat.

”Kalau mengandalkan perajin yang tua saja, nanti kalau mereka meninggal tidak ada yang meneruskan. Perajin tua tenaganya juga terbatas dan susah diajak berpikir,” ucapnya.

Untuk menggugah minat orang muda di kampung, Rukayyah punya trik. Ia melihat anak-anak muda sangat butuh uang. Oleh karena itu, dia tak segan memberikan iming-iming upah yang lumayan besar kepada mereka yang masih sekolah.

Apalagi pekerjaan yang dia tawarkan relatif ringan, bisa dilakukan di rumah, kapan saja, dan tak menuntut penyelesaian cepat. Misalnya, menggulung benang tenun berdasarkan warna dan banyak sedikitnya kebutuhan, atau mengikat benang tenun untuk membentuk motif.

”Lumayan, bisa menambah uang jajan atau membayar uang sekolah. Orangtua juga terbantu. Tetapi, tujuan utamanya adalah mengenalkan kerajinan tenun ikat,” katanya.

Bagi Rukayyah, hal terindah adalah melihat sentra kerajinan sarung tenun ikat di Kecamatan Mojoroto kembali berjaya seperti era 1980-an. Kala itu hampir setiap rumah di Kelurahan Bandar Kidul dan Bandar Lor sibuk dengan aktivitas pembuatan tenun, mulai dari pemintalan benang, pembuatan motif dengan cara pengikatan benang, hingga suara ATBM yang membisingkan telinga.

Puluhan pedagang setiap hari hilir mudik masuk ke kampung tersebut membeli sarung. Mereka datang dari berbagai daerah, seperti Surabaya, Jakarta, dan Bali. Bahkan, sebagian di antara pedagang itu ada yang khusus membeli sarung tenun kediri untuk dikirimkan ke Turki dan Arab Saudi.

Biodata

Nama: Siti Rukayyah

Lahir: Nganjuk, Jawa Timur, 1 April 1969

Suami: Munawar

Anak:

 - Yusna Kurota A’yuni (15)

 - Achmad Zuchri Mabruri (6,5)

Pendidikan:

- Madrasah Ibtidaiyah Nganjuk, 1983

- Madrasah Tsanawiyah Prambon, 1986

- Pendidikan Guru Agama Kediri, 1989

- Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa Surabaya (D-2), 1991

Penghargaan:

- Nominasi Upakarti Nasional, 2006

- Nominasi Upakarti Nasional, 2007

- Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Pertambangan Kota Kediri, 2008

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com