Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

RUU Pornografi Bentuk Totalitarianisme Negara

Kompas.com - 22/09/2008, 21:15 WIB

SURABAYA, SENIN - Serikat Dosen Progresif Universitas Airlangga menyatakan penolakan atas rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pornografi. Alasannya, RUU Pornografi merupakan salah satu bentuk praktik totalitarianisme negara terhadap warga negaranya.

Demikian gagasan yang mengemuka dalam seruan Serikat Dosen Progresif Universitas Airlangga, Senin (22/9) di Kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Airlangga, Surabaya.

Koordinator Bidang Hukum Serikat Dosen Progresif Universitas Airlangga, Jeoni Arianto mengatakan, invervensi negara dalam mengontrol persoalan moralitas kehidupan personal warga negara dapat menjebak negara untuk mempraktikkan politik totalitarianisme.

RUU Pornografi melihat perempuan dan anak-anak sebagai pelaku tindakan pornografi yang dapat terkena jeratan hukum. "Perspektif ini justru menghilangkan konteks persoalan yang sebenarnya menempatkan perempuan dan ana k-anak sebagai korban dari obyek eksploitasi yang dilakukan sistem kapitalisme," ujar Jeoni.

Dengan sudut pandang hukum seperti ini, maka pengesahan RUU pornografi akan menempatkan perempuan dan anak-anak sebagai korban yang kedua kalinya. Mereka menjadi korban dari praktik pemerasan sistem kapitalisme sekaligus korban tindakan represi negara.

Selain mendiskreditkan perempuan dan anak-anak, RUU pornografi secara sistematik juga bertentangan dengan landasan kebhinekaan karena mendiskriminasikan pertunjukan dan seni budaya tertentu dalam kategori seksualitas dan pornografi.

"RUU Pornografi bertujuan sebagai pembinaan moral masyarakat. Di dalamnya jelas ada usaha standardisasi moral masyarakat, padahal moral merupakan bentuk nilai budaya yang sangat beragam dan patokannya tidak bisa disamaratakan begitu saja," ujar Koordinator Bidang Umum Serikat Dosen Progresif Universitas Airlangga, Joko Susanto.

Cacat hukum  

Dari sudut pandang hukum, Serikat Dosen Progresif Universitas Airlangga menilai RUU Pornografi mengandung permasalahan yang serius. RUU tersebut telah menabrak batas antara ruang hukum publik dan ruang hukum privat. Hal ini tercermin dari penggebirian hak-hak individu warga yang seharusnya dilindungi oleh negara sendiri.

"Seharusnya persoalan yang diatur RUU ini adalah masalah yang benar-benar mengancam kepentingan publik, seperti komersialisasi dan eksploitasi seks pada perempuan dan anak, penyalahgunaan materi pornografi yang tak bertanggung jawab, atau penggunaan materi seksualitas di ruang publik," tambah Joeni.

Dosen FISIP Universitas Airlangga, Liestianingsih mengatakan, selain tidak adanya batas antara ruang hukum publik dan privat, RUU Pornografi bersifat kabur (tidak pasti) sehingga berpotensi multitafsir. Liestianingsih mencontohkan, pasal 1 angka 1 mengungkapkan ...membangkitkan hasrat seksual. "Ungkapan ini jelas bertentangan dengan asas lex certa dimana hukum haruslah bersifat tegas," katanya.

Proses penyusunan RUU Pornografi dinilai mengabaikan unsur-unsur sosiologis. Hal ini terlihat dari banyaknya pertentangan dan argumen yang muncul dari berbagai kelompok masyarakat.

Dengan demikian, RUU pornografi mengabaikan kultur hukum sebagai salah satu elemen dasar sistem hukum. Hukum merupakan hasil dari nilai-nilai hidup yang berkembang secara plural di ma syarakat. "Jika dilakukan penyeragaman standar nilai, maka hal tersebut merupakan bentuk penindasan baik oleh negara maupun sekelompok orang kepada kelompok lainnya," ucap Liestianingsih.

Sebagai salah satu produk hukum, RUU Pornografi juga dinilai inkonstitusional, khususnya dalam bab II pasal 4 hingga 14, antara lain Pasal 28 E ayat 2 UUD 1945, Pasal 28 F UUD 1945, Pasal 28 H ayat 4 UUD 1945, Pasal 28 I ayat 3 UUD 1945, dan Pasal 28 J ayat 1 UUD 1945. Padahal, dalam hukum berlaku asas perundang-undangan yang berbunyi lex superior derogat legi inferior atau suatu peraturan perundang-udangan harus mendasarkan diri dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya.

"Materi dari RUU ini jelas-jelas inkonstitusional. Jika RUU ini benar-benar disahkan, kami akan mengajukan gugatan banding ke tingkat Mahkamah Konstitusi," tegas Liestianingsih.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com