Agak sulit diterima jika rendahnya perolehan suara pasangan Achmady-Suhartono karena suara kaum nahdliyin juga diperebutkan calon lain seperti Khofifah Indar Parawansa dan Saifullah Yusuf, yang akhirnya maju ke putaran kedua pada November mendatang, atau mantan Ketua Dewan Pengurus Wilayah NU Jatim Ali Maschan Moesa. Sebab, suara kaum nasionalis juga diperebutkan oleh Soekarwo yang berpasangan dengan Saifullah Yusuf dan Soenarjo yang berdampingan dengan Ali Maschan.
”Hasil Pilkada Jatim, pertama, menunjukkan kekalahan calon yang didukung PKB karena pilkada lebih ditentukan oleh figur. Kedua, kekalahan Gus Dur (Abdurrahman Wahid). Ketiga, baru kekalahan PKB sebagai sebuah partai,” kata Qodari. Kekalahan PKB ini diduga terutama disebabkan oleh konflik berlarut-larut yang terjadi dalam partai itu.
Terfragmentasi
Melihat hasil Pilkada Jatim, suara kaum nahdliyin diperkirakan juga akan terpecah pada Pemilu 2009. ”Jika PKB berhasil menyelesaikan konfliknya dan Gus Dur kembali aktif di parpol itu, suara nahdliyin tetap akan banyak yang diberikan ke PKB. Sisanya tersebar ke sejumlah parpol seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan rumah lama NU, Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) sebagai rumah baru NU, hingga Golkar dan PDI-P,” duga Qodari.
Jika konflik di PKB tidak juga terselesaikan hingga Pemilu 2009 dan Gus Dur menyatakan golput, Qodari memperkirakan suara PKB dapat turun hingga sekitar 50 persen dibandingkan dengan perolehan mereka pada Pemilu 2004 yang mencapai 12.002.885. Sebab, bagaimanapun, Gus Dur adalah roh PKB.
Kemungkinan terjadi perpindahan suara dari PKB ini sudah diantisipasi sejumlah parpol seperti PKNU.
Namun, meski PKB solid, parpol itu tetap akan sulit memperoleh suara semua nahdliyin. Sebab, seperti dituturkan guru besar ilmu politik Universitas Airlangga, Kacung Maridjan, fragmentasi suara nahdliyin ke beberapa kekuatan politik bukan hal yang baru terjadi. Fenomena ini sudah terlihat terutama sejak 1984 ketika NU menyatakan kembali ke Khittah 1926, yaitu kembali menjadi organisasi sosial keagamaan.
”Sebelum 1984, suara NU memang terkonsentrasi ke parpol tertentu, khususnya PPP. Namun, setelah itu hingga sekarang, warga NU tersebar di mana-mana,” tutur Kacung.
Airlangga Pribadi Usman, pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, berpendapat, semakin independennya pilihan nahdliyin merupakan kemajuan penting dalam demokrasi. Sebab, hal ini membuat parpol tidak dapat hanya mengandalkan kekuatan tradisional atau aspek primordial untuk memperoleh suara nahdliyin. Apalagi di tengah semakin banyaknya parpol yang dapat dipilih nahdliyin.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.