Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ekonomi Perubahan Teknologi Pertanian

Kompas.com - 15/09/2008, 01:30 WIB

Oleh BUSTANUL ARIFIN

Untuk kesekian kalinya, pertanian Indonesia mendapatkan tantangan berat ketika upaya meningkatkan produksi dan produktivitas padi di beberapa tempat di Jawa dan Bali hanya menghasilkan kontroversi.

Perhatian lebih tertuju pada tata krama, prosedur, dan legalitas pengembangan benih padi yang diklaim sebagai varietas unggul. Kontroversi kebijakan seputar benih padi, yang mungkin baru berupa galur itu, melebar ke arena mistik ”mata hati” komoditas padi dan ranah politik menyangkut penyelenggara negara.

Para ekonom pertanian telah lama peduli pada perubahan teknologi pertanian sebagai salah satu kekuatan pendorong pertumbuhan sektor pertanian, proses transformasi ekonomi struktur ekonomi, dan yang terpenting peningkatan kesejahteraan petani.

Ekonom umumnya memandang benih varietas unggul padi dalam satu kesatuan dengan faktor produksi pupuk, pengelolaan air, pengendalian hama penyakit, teknik budidaya, dan lain-lain. Para ekonom yakin, perubahan teknologi adalah faktor endogen dalam proses produksi, bukan faktor eksogen yang tiba-tiba datang dari ”Laut Selatan”.

Inovasi dan teknologi baru tidak akan muncul pada masyarakat dengan kualitas sumber daya manusia ala kadarnya, kualifikasi pemulia tanaman tidak tangguh, kelembagaan riset dan pengembangan primitif, serta sistem administrasi serampangan dan serba instan.

Pemuliaan tanaman perlu melalui rekayasa dengan standar metodologi ketat. Aransemen kelembagaan yang beradab, dukungan organisasi sosial-kemasyarakatan yang menjunjung tata pamong (governance) yang memadai, dan ”proses industrial” dengan falsafah kesetaraan pemangku kepentingan politik.

Lonjakan produksi pertanian selama 4 dasawarsa terakhir, atau masa Revolusi Hijau, bukti dari perjalanan panjang, berliku, dengan tingkat kesabaran ekstra dan konservatisme cukup tinggi.

Tidak kebetulan

Pada era 1980-an, kinerja pertumbuhan pertanian Indonesia 5,8 persen per tahun, tidak dapat dilepaskan dari kematangan perubahan teknologi pertanian, terutama di Jawa dan sentra produksi pangan lainnya.

Pelambatan pertanian sejak awal 1990-an sebenarnya dapat dijelaskan dengan kegagalan Indonesia melembagakan perubahan teknologi baru itu. Ketika hegemoni kekuasaan negara dan pasar tidak lagi bersahabat dengan perubahan sosial masyarakat petani dan/atau transformasi struktural yang disyaratkan proses pembangunan, semakin lengkaplah penderitaan sektor pertanian.

Banyak orang awam mengira, era reformasi dan desentralisasi akan menjadi pintu masuk untuk reformasi dan pembenahan kelembagaan perubahan teknologi pertanian. Tampaknya ekspektasi itu harus tertunda.

Kesenjangan antara hasil riset di laboratorium/stasiun percobaan dan di tingkat lapangan/kehidupan petani terasa makin tinggi. Institusi yang ada tidak mampu menjembataninya.

Produktivitas padi Indonesia rata-rata saat ini tercatat 4,7 ton per hektar, jauh dari produktivitas ideal di tingkat percobaan yang dapat mencapai 8,3 ton per hektar. Pada skala percobaan, tentu ketersediaan air, kebutuhan input dan teknologi baru tersedia dengan cepat, serta kombinasinya sesuai anjuran. Sedangkan di lapangan, pupuk justru sering langka, benih unggul tidak tersedia, dan infrastruktur rusak.

Inilah tantangan dua dimensi. Di satu sisi adalah inovasi untuk menghasilkan benih baru yang mampu melonjakkan produksi dan produktivitas pangan pertanian, serta pendapatan petani. Di sisi lain, langkah nyata mengurangi kesenjangan produksi dan produktivitas, antara stasiun percobaan dan di tingkat petani.

Dimensi pertama, jalan keluarnya mensyaratkan kecerdasan, kejujuran, keteraturan, ketekunan, dan kesabaran, memegang prinsip pemuliaan tanaman dan perubahan teknologi baru, tepat guna, akurat, efisien, dan efektif.

Pemerintah wajib membenahi kebijakan riset dan pengembangan, meningkatkan alokasi anggaran, dan memberdayakan pusat penelitian di dalam negeri. Selain itu, melalui kemitraan dengan swasta, pengembangan bioteknologi akan menjadi alternatif yang prospektif untuk jangka menengah panjang.

Pada dimensi kedua, kesenjangan produksi dan produktivitas dapat dikurangi dengan upaya pelembagaan dan internalisasi perubahan teknologi baru dalam setiap kebijakan.

Masyarakat berharap banyak pada langkah revitalisasi sistem penyuluhan pertanian dalam arti sebenarnya. Mobilisasi ribuan penyuluh baru adalah satu langkah. Mereka masih perlu secara sistematis dibekali pemahaman pengetahuan pertanian, integritas, dan ketangguhan dalam menghadapi masalah di tingkat lapangan yang kompleks, termasuk beberapa dimensi penting dari fenomena kontroversi ”benih politik” seperti sekarang.

Bustanul Arifin Guru Besar Unila; Ketua Perhepi; dan Professorial Fellow MB IPB

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com