Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lasem, Simpul Sejarah yang Pudar

Kompas.com - 13/09/2008, 03:00 WIB

Ahmad Arif

Tembok-tembok tinggi itu membentuk lorong putih. Sebagian mengelupas lalu ditumbuhi lumut. Rumah-rumah tua berarsitektur China, yang sebagian besar kosong, tersembunyi di dalamnya. Tak terawat, mengisahkan kemunduran sebuah kota. Lasem kini hanya kecamatan kecil di lintasan jalan pantai utara Jawa. Sepi dan tak banyak dikenal orang.

Padahal, sejarah Lasem sebenarnya sangat tua, jauh lebih tua dibandingkan ketika jung yang dinakhodai Bi Nang Un mendarat di Pantai Regol, Kadipaten Lasem, tahun 1413 M. Dalam Serat Badra Santi, yang ditulis Mpu Santi Badra tahun 1479 dan diterjemahkan dalam bahasa Jawa oleh Kamzah R Panji, disebutkan bahwa pada tahun 1273 Saka atau 1351 Masehi, Lasem telah menjadi tanah perdikan Majapahit.

Waktu itu, Lasem dipimpin seorang perempuan bernama Dewi Indu, keponakan Raja Hayam Wuruk bergelar Bhre Lasem—dalam versi Kitab Negarakertagama, Bhre Lasem waktu itu adalah seorang putri bernama Sri Rajasaduhitendudewi, adik perempuan Hayam Wuruk. Bhre merupakan gelar untuk penguasa daerah di bawah imperium Majapahit.

Masih menurut Badra Santi, Bi Nang Un adalah seorang Campa (daerah Indochina, sekitar Vietnam, Kamboja, Laos yang waktu itu menjadi bagian wilayah Kekaisaran Dinasti Ming). Istri nakhoda itu, Puteri Na Li Ni, dikisahkan yang selanjutnya membawa seni batik ke Lasem.

Penelitian dari Institut Pluralisme Indonesia (IPI) menyebutkan, motif dan warna batik Lasem, yang didominasi warna merah, merupakan pertautan budaya Tionghoa dengan budaya Jawa. ”Dari selembar batik Lasem ada kisah tentang pembauran etnis dan budaya,” kata Njo Tjoen Hian (72), pembatik Lasem.

Hingga tahun 1970-an, produksi batik Lasem masih termasuk enam besar di Indonesia —selain Surakarta, Yogyakarta, Pekalongan, Banyumas, dan Cirebon. Direktur IPI William Kwan HL menyebutkan, pemasaran batik Lasem tidak hanya di Jawa, tetapi juga merambah Sumatera, Bali, Sulawesi, Semenanjung Malaka (Pulau Penang, Johor, dan Singapura), wilayah Asia Timur (terutama Jepang), bahkan Suriname. ”Suriname termasuk yang terbanyak. Dulu, hampir tiap bulan ayah saya mengirim batik hingga 500 lembar kain,” kata Njo Tjoen Hian atau yang juga dikenal dengan Sigit Witjaksono.

Asal mula

Lasem bukan sekadar batik. Ketika terjadi geger China (1740), Lasem menjadi titik pusat perlawanan China terhadap Belanda. Perlawanan itu dipimpin Raden Ngabehi Widyaningrat (Oey Ing Kyat), Raden Panji Margono, dan Tan Kee Wie. ”Dari Lasem, perlawanan terhadap Belanda menyebar ke Pati, Kudus, hingga Semarang,” kata Prof Totok Roesmanto dari Universitas Diponegoro.

Lasem juga dikenal sebagai titik penyelundupan senjata api dari Singapura. Dari Lasem, menurut catatan Pramoedya Ananta Toer, senjata dipasok kepada pelarian wanita bangsawan keraton di Rembang, yang selanjutnya dikirim ke pasukan Diponegoro yang mengobarkan Perang Jawa I (1825-1830). Akhirnya, jalur penyelundupan terbongkar dan para penyelundup digantung Kompeni di pusat kota.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com