Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mereka yang Pernah Menakhodai Sumatera Selatan

Kompas.com - 23/08/2008, 00:22 WIB

Sampai tahun 2008, sebanyak 13 tokoh telah memimpin Sumatera Selatan. Setiap pemimpin punya catatan perjalanan tersendiri sesuai dengan zaman mereka.

Masa pemerintahan peralihan dari penjajahan Jepang ke masa kemerdekaan Republik Indonesia ditandai oleh pengangkatan Adnan Kapau Gani—yang sering disingkat AK Gani—sebagai Residen Palembang pada 24 Agustus 1945. Pengangkatan tokoh yang terlibat pergerakan kemerdekaan itu dilakukan Menteri Negara M Amin dan Gubernur Provinsi Sumatera Mr Teuku Mohd Hassan.

Setelah pengangkatan ini, Gani dipercaya pemerintah pusat menjadi gubernur muda untuk Sumsel. Sebagai gubernur militer, AK Gani mendapatkan wilayah kerja Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi, dan Lampung.

Sebagai pemegang tongkat kepemimpinan, AK Gani menjalin hubungan dagang antara Palembang dan Singapura, bahkan dengan penyelundup senjata api.

Pada 1945 Gani dipercaya menjadi koordinator pertahanan untuk wilayah Sumatera. Pada tahun yang sama, Tentara Keamanan Rakyat terbentuk di Palembang. Setahun berikutnya Angkatan Laut RI dan Angkatan Udara RI. Pada Februari 1946 Palembang memiliki sekolah kader untuk calon perwira.

AK Gani yang memiliki latar belakang sebagai seorang dokter dan berpengalaman sebagai seorang aktor rupanya juga mempunyai keterampilan berdiplomasi. Kemampuan inilah yang mampu meredam aneka insiden yang hampir meletus di Sumsel. Faktor keamanan yang kuat juga turut mengambil peran dalam perkembangan ekonomi Sumsel.

Perekonomian di Sumsel tahun 1946 lebih baik dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Pada akhir 1946 Palembang menjadi kota bandar yang ramai dikunjungi dengan pemasukan Rp 1 juta-Rp 2 juta per hari dari kegiatan pelabuhan.

AK Gani diberhentikan dengan hormat dari jabatannya mulai 1 Januari 1950 seiring dengan lahirnya keputusan hasil Konferensi Meja Bundar yang menyelesaikan konflik Republik Indonesia dan Belanda. AK Gani juga menerima kalung emas 24 karat dari masyarakat Sumatera dan mendapatkan julukan ”Pemimpin Gerilya Agung”.

Penghentian jabatan Gani itu sekaligus mengangkat kembali drg M Isa sebagai Gubernur Sumatera Selatan. Sebelumnya, M Isa diserahi tanggung jawab sebagai Residen Sumsel menggantikan Gani, November 1946.

Pada awal kepemimpinan AK Gani, M Isa sudah jadi tokoh terkemuka di pemerintah Palembang. Bersama AK Gani yang menjabat sebagai Gubernur Militer Istimewa Sumsel dan sejumlah petinggi di Sumsel, Gubernur Muda Sumsel M Isa ikut serta dalam perundingan Indonesia-Belanda yang membahas penghentian tembak-menembak, 24 Agustus 1949.

Masa kepemimpinan M Isa juga melewati perjuangan. Kondisi negara pada waktu itu belum stabil karena Belanda masih ”mengganggu” kemerdekaan Indonesia. Kekacauan di Indonesia, termasuk di Sumsel, membuat kepemimpinannya penting dalam kerangka perjuangan.

Sejumlah tokoh merasakan besarnya semangat perjuangan M Isa, seperti yang dituturkan tokoh Tionghoa, Tong Djoe. Pada masa perjuangan itu, masyarakat dari pelbagai kelompok etnis ikut berjuang, termasuk masyarakat Tionghoa lewat berbagai organisasi, seperti Persatuan Kaum Tani Tionghoa. M Isa mengakhiri kepemimpinannya pada tahun 1952.

Winarno memimpin Sumsel pada tahun 1952-1957. Sayangnya, tidak banyak catatan tentang sosok Winarno. Winarno digantikan HM Husein yang menjabat pada 1957-1958. Pada saat yang sama Muchtar Prabu Mangkunegara menjabat Kepala Daerah Sumsel pada 1957-1958. Saat itu muncul wacana penyatuan pimpinan daerah otonom dan pemerintahan umum di tangan satu gubernur kepala daerah.

Tahun 1959 HA Bastari terpilih menjadi Gubernur Kepala Daerah Sumsel lewat sidang pleno DPRD. Dalam masa kepemimpinannya, Bastari banyak menata dan mendisiplinkan pegawainya. Sejumlah mantan pejuang juga menginginkan jabatan di dalam pemerintahan. Urusan inilah yang diatur oleh Bastari.

Selain itu, ia merencanakan penghapusan keresidenan dan kewedanaan. Pembangunan Jembatan Ampera juga dimulai pada masa Bastari, tahun 1962, dan selesai pada kepemimpinan gubernur berikutnya, tahun 1966.

Kepemimpinan Bastari berakhir pada 1963. Masa peralihan kepemimpinan Sumsel dipimpin oleh Sorimuda. Namun, ia tidak lama menjadi caretaker karena Menteri Dalam Negeri menunjuk Pembantu Utama Mendagri Bidang Pelaksanaan Brigadir Jenderal HA Abuyasid Bustomi sebagai penjabat gubernur.

Abuyasid menjabat tahun 1964-1967. Masa jabatan itu cukup singkat karena tahun 1967 Abuyasid ditarik ke Jakarta. Ia digantikan Ali Amin tahun 1967. Nama Ali Amin sebenarnya sudah pernah disebut-sebut ketika pemilihan calon gubernur pada tahun 1964. Dalam pemilihan kali itu, Ali Amin akhirnya menjadi Wakil Gubernur Sumsel.

Ali Amin pernah menjabat Local Joint Committee pada 1949 yang antara lain bertugas mengurusi penghentian tembak-menembak antara pejuang Indonesia dan tentara Belanda. Ali Amin pernah ditangkap Belanda sewaktu mengenakan emblem Merah Putih di pundak baju dalam perayaan ulang tahun negara Sumatera Selatan.

Sebagai gubernur, Ali Amin mendapatkan tugas yang berat karena harus menata daerah pascakerusuhan tahun 1966. Sejumlah kesatuan aksi, seperti KAMI, KAPPI, dan KAGI, masih aktif beraktivitas melanjutkan Tiga Tuntutan Rakyat atau Tritura, 10 Januari 1966. Ali Amin menyelesaikan masa tugas sebagai gubernur pada 1968.

Asnawi Mangku Alam dari Kodam dipilih sebagai gubernur dan dilantik pada 10 Januari 1968. Putra Ulak Baru, Tepi Sungai Komering, ini menjalani sekolah rakyat sampai sekolah dagang menengah pada zaman penjajahan Belanda. Berlanjut semasa pemerintahan Jepang, yakni sekolah dokter hewan dan sekolah pegawai tinggi.

Asnawi kemudian menempuh karier militer dengan bergabung dalam Tentara Republik Indonesia, pertama dengan pangkat kapten. Asnawi ikut membantu Perang Kota. Jabatannya ketika itu adalah kepala intendans berpangkat letnan satu. Pangkat ini lebih rendah daripada pangkat awal kariernya karena ada penyesuaian gelar kepangkatan.

Pada awal kemerdekaan, Asnawi aktif di Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia. Pada akhir karier militernya, Asnawi berhasil meraih pangkat brigadir jenderal purnawirawan.

Seusai di militer, Asnawi diangkat menjadi Gubernur Sumatera Selatan. Pada Januari 1968 Asnawi dilantik menjadi gubernur oleh Mendagri Basuki Rachmat. Jabatan gubernur dipegangnya selama dua kali masa pemerintahan, tahun 1968-1978.

Pertanian dikembangkan

”Destiny is yours,” tutur pria kelahiran 27 April 1921 saat ditanya tentang nasib yang membawa seorang putra petani menjadi gubernur. Kekayaan hasil perkebunan Sumsel semakin dikembangkan pada zaman Asnawi. Pada Agustus 1968 tercatat luas perkebunan yang digarap di Sumsel mencapai 500.000 hektar. Asnawi juga membuka perkebunan tebu 18.000 hektar.

Asnawi menyerahkan jabatan Kepala Daerah Sumsel kepada HA Sainan Sagiman. Sainan diangkat sebagai gubernur lewat surat keputusan presiden tanggal 16 Agustus 1978. Sainan menjabat gubernur selama 10 tahun hingga 1988. Ketika dilantik, Sainan berpangkat brigadir jenderal purnawirawan.

Sebelum menjadi gubernur, Sainan juga pernah ikut dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dalam Perang Kota, Sainan menjabat sebagai perwira intel. Terakhir, ia bertugas di Kertapati.

Sainan termasuk sosok yang memerhatikan pendidikan. Dalam tahun anggaran 1979/1980, Sainan menaikkan bantuan kepada Universitas Sriwijaya (Unsri) sebesar 10 kali lipat dibandingkan dengan anggaran yang diterima Unsri sebelumnya.

Ia juga menganggarkan Rp 4 miliar untuk sektor pertanian pada 1980. Kemudian, Sumsel menjadi penyelenggara Festival Film Indonesia, Mei 1979.

Pada Juni 1987 Sainan bersama Dirut Pertamina AR Ramly meresmikan operasi komersial Lapangan Minyak Musi di Kabupaten Musi Rawas. Selain menghasilkan minyak, lapangan ini juga menghasilkan 36,5 juta kaki kubik gas alam.

Pada Januari 1988, sembilan pabrik karet bongkah kesulitan mendapatkan bahan baku. Pada tahun yang sama, Sumsel mulai menutup diri sebagai lokasi transmigrasi umum.

Sainan mengakhiri masa jabatan pada September 1988, diganti oleh Brigadir Jenderal H Ramli Hasan Basri. Ramli yang dicalonkan oleh DPP Golkar dilantik sebagai gubernur oleh Mendagri Rudini. Sektor pertanian didorong untuk berkembang pada masa pemerintahannya.

Sumsel mulai ditargetkan menjadi lumbung pangan nasional sejak tahun 1990. Presiden Soeharto menggelar panen raya di Kabupaten Ogan Komering Ulu. Namun, bencana kekurangan pangan juga pernah dialami warga Air Sugihan, Ogan Komering Ilir, akhir tahun 1991.

Untuk mendukung prestasi olahraga, Ramli membagikan bonus Rp 30 juta untuk atlet peraih medali dalam Pekan Olahraga Nasional (PON) XII. Ia juga menyediakan dana Rp 1,5 miliar untuk pembinaan olahraga tahun 1990.

Tanjung Api-api

Ide pembangunan Pelabuhan Tanjung Api-api muncul dalam masa pemerintahan Ramli pada tahun 1991. Ramli juga dikenal sebagian kalangan sebagai gubernur yang peduli terhadap persoalan sejarah dan kebudayaan. Bagi pengamat sejarah, ia termasuk orang yang sangat perhatian pada Kerajaan Sriwijaya. Kepedulian ini sangat berarti karena jarang pemimpin daerah yang memerhatikan sejarah.

Ramli mengakhiri jabatan pada 1998. DPRD Sumsel memastikan Kepala Staf Komando Armada RI Kawasan Barat Laksamana Pertama TNI Rosihan Arsyad sebagai pengganti Ramli. Pria kelahiran Bengkulu, 29 Juli 1949, yang juga dikenal sebagai penerbang di TNI AL, itu dilantik menjadi gubernur periode 1998-2003 setelah mengantongi 26 dari 45 suara DPRD Sumsel.

Rosihan menganggarkan Rp 3,9 miliar untuk pembinaan petani karet. Pemekaran daerah juga marak terjadi pada masa pemerintahannya. Perhatian pada transportasi juga jadi prioritas Rosihan. Dalam APBD 2001 anggaran sektor transportasi mencapai Rp 112 miliar dari total anggaran Rp 605,5 miliar. Perbaikan jalan diutamakan untuk lintas Sumatera.

Namun, pos anggaran sektor aparatur pemerintah dan pengawasan juga cukup besar, yakni Rp 29 miliar. Dana itu lebih besar daripada anggaran sektor kesehatan, peranan wanita, serta anak dan remaja Rp 20 miliar.

Pada masa pemerintahannya, ia merintis persiapan Sumsel sebagai tuan rumah PON XVI. Salah satunya dengan menyelenggarakan Kejurnas Sepatu Roda pada Juli 2002.

Sejumlah sarana dan prasarana umum juga gencar dibangun saat itu, seperti pembangunan mal, hotel, dan pusat perniagaan. Pembangunan proyek yang pernah ditentang banyak pihak, disebut Rosihan, sebagai upaya peningkatan ekonomi. Terbukti, salah satu dampak positif pembangunan tersebut adalah munculnya aneka pembangkit listrik yang menyuplai listrik ke jaringan Sumatera bagian selatan.

Jabatan Rosihan berakhir pada 12 September 2003 setelah kalah dalam perolehan suara di DPRD Sumsel. Tongkat kepemimpinan berikutnya dilanjutkan pasangan Syahrial Oesman-Mahyuddin.

Pada masa Syahrial, Sumsel dideklarasikan menjadi daerah lumbung energi nasional. Syahrial juga meluncurkan program pariwisata Visit Musi 2008 yang ditiru daerah lain. Pada sisa masa jabatan, Syahrial wajib mundur untuk mengikuti pilkada. Dia harus bertarung dengan lawannya, Bupati Musi Banyuasin, Alex Noerdin untuk menjadi gubernur ke-14. (AGNES RITA SULISTYAWATY)

 

 

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com