Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Yuli Astuti, Demi Selembar Kapal Kandas

Kompas.com - 21/08/2008, 06:08 WIB

Dari hasil kopi itu pula, tutur Yuli, Kudus menjadi kawasan yang diperhitungkan pada masa penjajahan Belanda. Memperkuat pendapat Yuli, dalam buku- buku sejarah Indonesia disebutkan, awal abad ke-19 saat pemerintahan Gubernur Jenderal Willem Daendels, hasil perkebunan kopi dari kawasan Gunung Muria diangkut melewati Jalan Raya Pos atau jalan lintas di pesisir pantai utara Jawa. Kopi menjadi komoditas yang menjanjikan di dunia perdagangan internasional kala itu.

Sampai era 1970-an, masih banyak perempuan membatik di desa-desa di sekitar Kota Kudus. Batik tulis dengan warna-warna alam dari buah pace, daun mangga muda, atau kunyit. Batik menjadi pakaian sehari-hari dan barang dagangan yang cukup laku di tingkat lokal atau antarkota pesisir di Jawa. Namun, industri lokal ini makin tergerus oleh serbuan batik printing dan batik cap dari Pekalongan. Di sisi lain, warga Kudus lebih tertarik menjadi buruh linting di pabrik rokok.

Sejak 1980-an praktis batik kudus tak lagi berkibar, ditinggalkan oleh masyarakat pembuat dan pemakainya. Kini yang tertinggal hanya pembatik sepuh yang berusia di atas 50 tahun. Itu pun jumlahnya bisa dihitung dengan jari.

Pelatihan membatik

Dua tahun lalu, Yuli yang berasal dari keluarga perajin bordir pakaian ditawari pelatihan membatik oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Rembang. Dari sekitar 10 orang yang dibina, hanya Yuli yang terus melaju. Dia tetap bersemangat membangkitkan kembali kejayaan batik kudus.

Ia mau belajar dari nol, mulai dari memilih kain yang tepat, menggambar motif, memakaikan lapisan malam, hingga pencelupan untuk pewarnaan. Ratusan lembar kain batik gagal masih teronggok di rumahnya sebagai pengingat kerasnya perjuangan. Namun, belakangan ini ratusan lembar batik tulis buatannya sudah diserap pasar. Pada setiap pameran, batik tulisnya seharga Rp 350.000-Rp 2 juta per lembar ludes diborong konsumen.

Bahkan, bersama komunitas batik tulis di Semarang, Yogyakarta, dan Tuban, Yuli sering mengikuti pameran batik tingkat nasional maupun internasional. Kegigihannya mengembangkan batik kudus membuat batik ini dilirik UNESCO dan sedang dalam proses penetapan resmi sebagai salah satu warisan sejarah dunia.

Di samping itu, Yuli juga merintis pelatihan membatik bagi warga desanya meskipun baru tiga dari 10 orang binaannya yang mahir membatik.

Meski untuk semua jerih payah itu tubuhnya menjadi makin kurus, berat badannya turun dari sekitar 60 kilogram menjadi 45 kg, Yuli justru merasa segar. Terlebih jerih payahnya semakin dihargai orang.

Batik tulis karyanya mulai diminati para perancang busana nasional. Batik hasil karya Yuli juga telah terdaftar dengan nama paten Muria Batik Kudus pada Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) dengan nomor registrasi D 002007030389.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com