Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebangkitan Negara Berkembang

Kompas.com - 03/08/2008, 03:00 WIB

Nur Hidayati dan Joice Tauris Santi

Kegagalan pembicaraan tentang perdagangan global di Geneva, Swiss, pekan lalu, bukanlah hal yang mengejutkan. Sudah banyak pembicaraan yang gagal dalam membahas perdagangan global itu. Dalam satu dekade perjalanan Organisasi Perdagangan Dunia, semakin jelaslah bahwa model globalisasi ini belum menguntungkan.

Sejatinya Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dibentuk untuk memberikan keuntungan yang dijanjikan, yaitu untuk meningkatkan kemakmuran.

Kegagalan perundingan sembilan hari itu lalu menjadi ajang saling menyalahkan negara-negara anggota. Negara yang dianggap gagal membuat persetujuan konsesi pertanian menjadi sasaran kecaman.

Organisasi antiliberalisme berpendapat, kegagalan itu memanglah wajar karena negara- negara miskin memiliki hak untuk melindungi para petaninya dari serbuan produk impor. Rusaknya pasar lokal karena serbuan produk impor bersubsidi sudah terbukti di Ghana.

Pembukaan pasar ayam beku di Ghana merupakan salah satu kesepakatan antara Pemerintah Ghana dan Dana Moneter Internasional (IMF). Pasar Ghana dibanjiri ayam impor yang lebih murah dari Uni Eropa dan Amerika Serikat karena besarnya subsidi kepada peternak. Akibatnya jelas, membanjirnya ayam impor di Ghana membuat peternak yang tidak bersubsidi tidak dapat bersaing.

Pada 1992, sekitar 95 persen kebutuhan ayam di pasar Ghana dipasok peternak lokal. Hanya dalam waktu singkat, pada 2001 pasokan dari peternak lokal turun dan hanya mencapai 11 persen. Pada tahun 2002, lebih dari 27.000 ton ayam beku diimpor dari negara-negara Eropa.

Importir ayam dikenai pajak sebesar 20 persen. Pemerintah Ghana sudah berniat menaikkan pajak impor menjadi 40 persen, tetapi terganjal oleh letter of intent (LoI) yang ditandatangani dengan IMF. Dalam LoI itu, Ghana telah berjanji tidak akan menaikkan tarif dalam jangka waktu tertentu. IMF pun beranggapan bahwa kenaikan pajak justru akan mengganggu program pengurangan jumlah orang miskin. Rentetan panjangnya, pengangguran bertambah karena industri ternak ayam di Ghana mati suri.

Negara maju juga menawarkan akses pasar kepada negara berkembang. Ternyata pasar ekspor ke negara maju juga tidak terlalu mudah diraih. Contohnya, Uganda merupakan penghasil nanas yang berkualitas tinggi dan berukuran besar. Nanas merupakan salah satu produk unggulan Uganda. Namun, Uganda sulit memasuki pasar Uni Eropa karena mereka justru menginginkan ukuran nanas yang lebih kecil karena mereka terbiasa dengan nanas-nanas kecil yang dihasilkan petani Eropa.

Siapa pun tidak mau jika pasar lokalnya hancur karena serbuan produk impor seperti yang telah terjadi di Ghana.

Pembahasan paling alot pada pertemuan WTO itu terkait dengan isu produk pertanian khusus (special products/SP) yang yang diperlakukan berbeda dalam perdagangan serta mekanisme pengamanan perdagangan di bidang pertanian (special safeguard mechanism/SSM).

Pada poin mengenai SP, negara berkembang dapat mengategorikan 10-18 persen produknya sebagai produk khusus untuk ketahanan pangan dan penunjang kehidupan di kawasan pedalaman.

Kelompok G-33 dari 45 negara berkembang berusaha keras untuk mendapatkan hak untuk mendapatkan potongan tarif beberapa produk khusus, sedangkan negara pengekspor pangan, seperti Argentina, Brasil, dan Thailand, menentangnya.

Sejak awal perundingan pekan lalu, Menteri Perdagangan Indonesia Mari Elka Pangestu mewakili G-33 sudah menegaskan bahwa kelompok negara-negara berkembang ini tidak akan melanjutkan perundingan jika tuntutan SP dan SSM tidak diakomodasi oleh negara-negara maju.

Sebelum perundingan mengalami kebuntuan, Mari mengatakan, delegasi Indonesia sebenarnya telah berhasil memperjuangkan pengecualian produk khusus pertanian (SP) dari pemotongan bea. Produk khusus itu ditentukan dengan kriteria ketahanan pangan, keberlanjutan penghidupan, dan pembangunan pedesaan. Bagi Indonesia, salah satu produk khusus adalah beras.

”Dengan keberhasilan itu artinya sejumlah produk sensitif Indonesia, seperti beras, gula, jagung, dan kedelai, telah terlindungi, tidak terkena potongan bea masuk apa pun dibandingkan dengan komitmen kita sebelumnya (bound Uruguay Round rates). Dalam pelaksanaannya, bila diperlukan untuk melindungi petani, beras misalnya, kita kenai bea masuk tertinggi berdasarkan komitmen yang lalu atau sampai dengan 160 persen,” kata Mari.

Terbentur pada SSM

Namun, perundingan ibarat membentur dinding karena kepentingan Indonesia dan G-33 terkait mekanisme pengamanan perdagangan produk pertanian (SSM) tak terakomodasi dalam draf teks yang dirilis Direktur Jenderal WTO Pascal Lamy.

Indonesia konsisten mempertahankan bahwa mekanisme SSM yang ditawarkan dalam teks sangat tidak sensitif terhadap kepentingan negara sedang berkembang. Padahal, SSM merupakan hal prinsip yang tidak dapat ditawar karena amat diperlukan untuk melindungi jutaan petani kecil di negara sedang berkembang.

SSM merupakan mekanisme yang memperbolehkan negara berkembang melindungi produsennya dari kenaikan volume impor atau penurunan harga dengan menaikkan pajak impor dalam sementara waktu.

Mekanisme SSM yang dicantumkan pada teks tidak mudah diterapkan bagi kepentingan pengamanan produk pertanian lokal terhadap impor. Teks itu mensyaratkan, tambahan bea masuk hanya dapat diterapkan apabila volume impor telah mencapai kenaikan 40 persen dari total impor dan harga mengalami penurunan.

”Batasan 40 persen itu terlalu tinggi. Jika pada saat volume impor mencapai 40 persen baru diberlakukan kenaikan bea impor, pada saat itu petani sudah bunuh diri,” ujar Menteri Perdagangan India Kamal Nath. Dia bertekad menyelamatkan para petani miskin di India dibandingkan harus menyerah pada kekuatan asing.

Indonesia juga berkeras menolak, didasari pertimbangan bahwa jika dengan jumlah impor sebesar itu masih harus ditunggu harga turun pula, maka sudah terlambat digunakan instrumen pengamanan berupa peningkatan bea masuk. Petani tidak dapat lagi bertahan.

SSM yang diinginkan oleh Indonesia dan G-33 adalah mekanisme pengamanan yang mudah diimplementasikan untuk melindungi petani dari masuknya produk impor yang dapat langsung merugikan mereka. SSM dalam konteks produk pertanian tidak seperti safeguard biasa di sektor industri.

Di sektor industri, mesin bisa saja dimatikan untuk sementara jika ada gangguan impor. Namun, petani yang jumlahnya banyak tidak bisa diminta berhenti kerja karena tanaman sudah tertanam dan hasil panen tidak bisa disimpan lama.

Walaupun mendapat banyak tekanan, bahkan dianggap memblok hasil negosiasi, Indonesia dan G-33 terus bertahan terus. Kubu ini juga didukung oleh African Group, Africa Carribean Pacific Group (ACP), dan Small and Vulnerable Economies.

Munculnya kekuatan baru

Kegagalan pertemuan itu juga merupakan bukti adanya keberanian dan kekuatan baru untuk menolak perintah negara-negara maju. Bahkan, Pascal mengatakan, negara berkembang sudah tidak mau lagi terus berada dalam ”kolonialisme” negara-negara maju.

Kekuatan China, India, dan Brasil dalam pertemuan WTO pekan lalu sangat signifikan. Khususnya China. Negara itu sekarang lebih kaya dan lebih percaya diri sehingga memainkan peranan penting dalam perdebatan perdagangan global. Tak pelak, China juga mendapat kritikan pedas dari AS.

Secara tidak terduga, China bersama India berperan penting dalam melindungi petani dari gempuran produk pertanian impor. AS menuduh kedua negara itu sebagai penyebab utama gagalnya pertemuan Geneva pekan lalu. Utusan China balas menuduh AS menuntut terlalu banyak.

Joseph Cheng, Ketua Pusat Riset China Kontemporer di Universitas City di Hongkong, mengatakan, China hendak memainkan peranan lebih besar dalam perdagangan global.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com