Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Satu Pagi di Lereng Merapi

Kompas.com - 08/07/2008, 09:07 WIB

HARI masih pagi dan dingin menusuk tulang. Udara berkabut, basah oleh embun. Dengan kepala terbalut selendang penahan dingin, Mbok Karti menggerumut berjalan pelahan ke arah pancuran air di tepi jalan. Tangannya menenteng piring, panci, dan ceret.

Sampai di pancuran buatan dari pipa paralon kecil, dicucinya perabot masak seadanya itu. Dinginnya air dari gunung yang sengaja dialirkan ke kolam kecil di pinggir jalan itu seolah tak dirasanya.

“Untuk masak untuk anak-anak sekolah,” katanya kepada saya yang sengaja bangun pagi untuk melihat-lihat kesibukan warga Dusun Sewukan, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, yang berada di lereng Merapi, Minggu (29/6) lalu.

Monggo pinarak teng gubuk kulo,” kata Mbok Karti ramah mengajak saya mampir ke rumahnya yang sederhana.

Sesampai di rumah, cerek yang sudah diisi air gunung itu segera ditumpangkan di atas tungku yang menyala. Ia terkesan salah tingkah ketika akan difoto dalam keadaan memasak.

Mbok Karti adalah wanita paruh baya. Anaknya tiga, dua masih sekolah, satu sudah bekerja sebagai penyuluh pertanian lapangan (PPL) desa yang mulai diadakan lagi setelah sebelumnya sempat dihapus Presiden (ketika itu) Abdurrahman Wahid.

Ya, pagi itu Mbok Karti, saya kira juga perempuan desa lain di desa, memang sudah harus bekerja mempersiapkan sarapan untuk anak-anaknya yang akan pergi sekolah, suami yang harus ke kantor, atau setidaknya menjerang air untuk sekadar ngopi atau ngeteh untuk suami yang akan segera ke sawah.

Di rumah lain, Pak Parjo sepagi itu juga sudah bangun untuk membawa hasil panen kembang kolnya ke pinggir jalan menungu angkutan ke pasar. Dibantu istri dan saudara perempuannya, ia menaikkan keranjang berisi kembang kol yang beratnya kira-kira 80 kg ke atas kepalanya.

Tak mau menahan beban berat berlama-lama, Pak Parjo bergegas ke pinggir jalan melewati pematang di pinggir rumahnya. Sesampainya di jalan desa, diletakkannya keranjang kembang kol itu di atas buk (beton jembatan) pintu air.

Pak Parjo sudah memanen kembang kolnya dua sore hari sebelumnya. Malamnya, ia mengatur kembang kol itu ke dalam keranjang sebelum pergi menghadiri sebuah hajatan di rumah tetangga sambil mendengarkan kerawitan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com