Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Masyarakat Bawah Belajar Demokrasi

Kompas.com - 05/06/2008, 14:07 WIB

Menurut Hipolitus, pihaknya mencoba menghidupkan lagi tradisi-tradisi itu dengan memasukan pemahaman tentang demokrasi moderen. Maka dalam modul pelatihan yang diberikan kepada peserta, topik-topik yang dibahas antara lain tentang sejarah pemikiran demokrasi, demokrasi dan HAM, serta tentang sistem politik.

Selain yang bersifat umum, ada sejumlah topik yang diberikan sesuai dengan kebutuhan lokal. Untuk Lembata, modul lokalnya antara lain tentang keterampilan kepemimpinan, budgeting, dan pelatihan penulisan. Topik-topik itu dinilai diperlukan untuk Lembata yang resmi jadi kabupaten tahun 1999, hasil pemekaran dari Kabupaten Flores Timur.

Paket pelatihan di SD berlangsung setahun. Sekitar sepekan dalam sebulan peserta berkumpul untuk mengikuti aneka pelatihan. Di seluruh Indonesia, sekolah seperti itu ada lima lokasi yaitu di Tangerang (Banten), Malang (Jawa Timur), Banyuasin (Sumatra Barat), Jeneponto (Sulawesi Tenggara), dan Lembata. Di Lembata, pesertanya berasal dari berbagai latar belakang: ada petani, kepala desa, sekretaris desa, karyawan swasata, kader partai sampai anggota DPRD.

Pengaruh

ALUMNI SD Lembata kini mewarnai kehidupan berdemokrasi di pulau seluas 1.339 kilometer persegi dan berpenduk sekitar 125.000 jiwa itu. Rafael yang alumnus angkatan pertama, tahun lalu terpilih sebagai kepala desa meski sampai saat ini tak kunjung dilantik. Ia juga Ketua Forum Masyarakat Desa Pesisir Timur, Kecamatan Lebatukan. Beberapa kali ia memobilisasi warga untuk berunjuk rasa di kantor bupati. Di depan Bupati Andreas Duli Manuk ia berorasi dan mengecam rencana pembukaan tambang emas. Ia mengaku, SD memberinya banyak pemahaman tentang demokrasi serta keberanian dan keterampilan untuk berbicara di depan umum.

Alumnus lain, Aloysius Urbanus Uri Murin atau Alwi Murin adalah anggota DPRD Lembata dari Partai Nasional Banteng Kemerdekaan. Alwi menjadi satu-satunya anggota DPRD -dari 20 orang anggota- yang secara terbuka menolak rencana pembukaan tambang emas di Lembata. Ketika DPRD Lembata melakukan studi banding ke Newmont Minahasa Utara di Sulawesi Utara, Alwi tidak mau ikut. Ia kemudian mempersoalkan studi banding yang didanai APBD, padahal dalam APBD Lembata 2008 tidak ada anggaran untuk itu.

Ketika semua anggota DPRD Lembata bertemu dengan Yusuf Meruk di Hotel Nikko Nusa Dua, Bali Mei lalu, Alwi juga tidak mau ikut. Ia hanya menitipkan alat perekam kepada temannya. Isi pembicaraan pada pertemuan itu berdasarkan hasil rekaman ia sebarkan ke masyarakat. Ia bergerak sendiri namun ia tidak peduli. SD, katanya, memberinya pencerahan.

Masih ada sejumlah alumni lain yang berjuang dengan cara mereka masing-masing. Seorang perempaun alumni misalnya, kini terpilih sebagai kepala desa.

Hipolitus Mawar mengemukakan, pelaksanaan SD sangat memberi harapan bagi proses demokrasi di Lembata. "Sangat luar biasa (dampaknya). Dalam kasus tambang misalnya, alumni jadi pengerak penolakan di desa-desa," katanya.

Ia memperkirakan, alumni sekolah itu dua atau tiga tahun ke depan akan banyak mempengaruhi kehidupan politik Lembata. "Sekarang banyak kader dan ketua partai politik yang ikut. Pada pemilu tahun depan bukan tidak mungkin mereka akan mendapat kursi di DPRD. Tentu kita berharap, mereka bisa membawa suasana lain," kata Hipolitus.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com