Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Enggano, (Seharusnya) Surga Pertanian Organik

Kompas.com - 30/05/2008, 14:05 WIB

KEMISKINAN petani Enggano ternyata membawa berkah tersendiri atas kualitas produk mereka. Karena tidak mampu membeli pupuk pabrik, tanaman cokelat, merica, melinjo, cengkeh, dan tanaman keras lain tumbuh subur tanpa kontaminasi kimia menjadi produk organik yang sebetulnya memiliki harga tinggi di pasar produk pertanian dunia.

Sepanjang mata memandang, pohon cokelat berbuah lebat di belakang hunian warga seperti terlihat di Desa Banjar Sari, ujung utara Pulau Enggano. Buah cokelat memenuhi batang pohon hingga mendekati akar.

”Pedagang di Bengkulu selalu menunggu kiriman cokelat dari Enggano sebelum dikirim ke luar daerah. Mereka menggunakan cokelat Enggano untuk bahan oplosan cokelat mereka karena dianggap berkualitas tinggi,” kata Winarto Rudi Setiawan (40), Sekretaris Desa Banjar Sari yang ditemui Jumat (16/5).

Cokelat kini menjadi salah satu primadona unggulan Pulau Enggano yang memiliki luas 680 kilometer persegi dan hanya berpenduduk sekitar 2.650 jiwa. Sepanjang jalan dari Desa Kahyapu di ujung selatan hingga Desa Banjar Sari di ujung utara sejauh 45 kilometer, terlihat warga menjemur biji cokelat.

Warga Enggano tidak pernah tahu apakah produk cokelat mereka berakhir dalam kemasan olahan cokelat terkenal seperti Nestle asal Swiss, negeri yang tidak memiliki kebun cokelat atau dinikmati di kedai kopi waralaba internasional seperti Starbucks.

Para penikmat produk olahan cokelat di kota besar di Indonesia juga mungkin tidak menyangka bahwa kudapan atau minuman berbasis cokelat yang dinikmati ternyata berasal dari Pulau Enggano di tengah Samudra Hindia yang bebas dari gangguan pencemaran dan hujan asam (acid rain) yang mendera Pulau Jawa.

Potensi lahan yang dapat diolah pun sangat menjanjikan. Sesuai ketentuan adat Enggano, para pendatang langsung diberi 2 hektar tanah. Saat ini baru sekitar 3.000 hektar kebun yang dikelola, baik dari luas area 680 kilometer persegi di sisi timur pulau yang menghadap Pulau Sumatera. Selebihnya, hutan mangrove hingga hutan primer di perbukitan setinggi 220 meter dari permukaan laut, mendominasi Pulau Enggano yang rimbun dan permai. Kayu merbau, meranti, dan jenis kayu lokal yang disebut apu’a tumbuh subur dan terlindung karena ketatnya sistem adat Enggano menjaga lingkungan.

Namun, sayang keunggulan komparatif tersebut belum dinikmati hasilnya oleh petani Enggano. Daniel Hutapea (46), guru SD Negeri Apoho yang memiliki kebun cokelat sekitar 3 hektar, mengaku harga jual cokelat Enggano selalu dimainkan pembeli.

”Harga di Bengkulu mencapai Rp 16.000 per kilogram, tetapi produk kami hanya dihargai Rp 13.000 per kilogram,” kata Hutapea yang bermukim sejak tahun 1982 di Enggano dan memiliki hubungan kekerabatan dengan warga asli.

Padahal dengan kondisi harga normal Rp 15.000 per kilogram, seorang petani cokelat seperti puluhan warga suku Bugis di Desa Banjar Sari bisa mengantongi uang hingga Rp 30 juta per bulan setiap kali panen dengan asumsi hasil rata-rata 2 ton.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com