Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Generasi Larva: Memulai 100 Tahun Kedua

Kompas.com - 18/05/2008, 01:40 WIB

Terkadang ada satu hal fundamental yang saya selalu pertanyakan: ”diri”-ku yang primer itu ”diri” yang mana? Diri ”Noe”, diri ”anak band”, diri ”penikmat fisika dan matematika”, diri ”Muslim”, dan banyak dimensi identitas lainnya. Bahkan mana yang lebih utama aku sebagai diri ”anak ibuku” atau diri ”anak ayahku”.

Untung itu bukan pertanyaan check-point seperti dalam ujian nasional. Itulah kekayaan dinamis proses kehidupan setiap orang. Dan kalau kita bicara Indonesia dengan kebangkitannya, langsung saja terasa yang paling nyata adalah bahwa diriku adalah bagian dari Indonesia. Dan cara berpikir yang saya pilih bukan bagaimana cara mencintai Indonesia, tapi bagaimana agar Indonesia bisa dicintai. Minimal oleh diri Indonesia sendiri. Di situlah wilayah kontribusi ”bagian dari Indonesia” kepada ”Indonesia”. Subyek utamanya, tujuannya, output-nya adalah ”Indonesia”, sedangkan si ”bagian dari Indonesia” hanya kontributor.

Seratus tahun yang lalu, 20 Mei 1908, yaitu tanggal berdirinya Budi Oetomo, dikenang sebagai tonggak kebangkitan nasional. Merefleksikannya ke zaman ini, pertanyaan pertama (dan cliché) adalah: setelah seratus tahun, apakah kita sudah benar-benar bangkit?

Saat itu, membaca dari buku sejarah, dua kata kunci yang memicu semangat kebangkitan bisa ditarik langsung dari dua kata kunci: eksploitasi dan diskriminasi. Waktu itu diskriminasi termanifestasi dengan adanya kesenjangan dengan obyek : pribumi-nonpribumi. Eksploitasi terutama terdefinisikan (secara kasuistik) dengan tindakan Pemerintah Hindia-Belanda yang menggunakan uang orang Indonesia untuk merayakan ulang tahun kemerdekaan negerinya. Hal ini direspons oleh Ki Hadjar Dewantoro dengan artikelnya Als ik Nederlander was (seandainya saya orang Belanda), yang membawanya langsung ke penjara. Sebuah simbol perjuangan yang menebalkan polaritas dan membangkitkan semangat bersama.

Siklus alam dan lingkaran setan

Saat ini: untuk mengukur langsung tingkat kesuksesan semangat Kebangkitan Nasional, akan akurat jika mengukur dari dua kata kunci tersebut. Apakah di zaman sekarang masih ada yang namanya eksploitasi dan diskriminasi (negatif)?

Kita semua sadar pentingnya semangat kebangkitan, kita sadar kita ingin keluar dari stigma tersebut. Tapi, terlihat secara nyata dari pengalaman seratus tahun ini bahwa ada sebuah proses (bisa kita sebut lingkaran setan) dan dengan kedua ”setan” ini terpelihara dan justru terkembangbiakkan. Tidak hilang, tapi malah terlestarikan.

Contohnya dalam dunia pendidikan: ketidaksadaran akan pentingnya pendidikan (kesejahteraan guru, dana pendidikan tidak maksimal)—pendidik tidak mampu bekerja maksimal—murid terdidik dengan tidak maksimal—generasi/SDM lemah—ketidaksadaran akan pentingnya pendidikan, dan seterusnya. Diskriminasi terhadap hak pendidikan membawa degradasi generasi.

Kalau salah satu nilai yang dijunjung tinggi demokrasi adalah persamaan hak berkompetisi untuk setiap individu, padahal modal pendidikan (menjadi terdidik) adalah syarat utama untuk mampu berkompetisi tidak dapat terpenuhi (diskriminasi terjadi saat ada korelasi antara ”biaya pendidikan” dan ”kualitas pendidikan”), kita harus menyelesaikan persoalan ini dahulu sebelum berhak bicara banyak soal demokrasi.

Contoh lain dalam lalu lintas informasi: informasi tidak lengkap—salah persepsi—salah reaksi—salah sasaran—salah konklusi—disinformasi/informasi tidak lengkap. Eksploitasi disinformasi akan memperpanjang disinformasi, dan secara langsung memperpanjang kesempatan eksploitasi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com