Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sajak-sajak Hasan Aspahani

Kompas.com - 11/05/2008, 01:57 WIB

Gurindam Pasal yang Pertama:

Yang Sajak, Yang Kata

Ketika kau tuliskan sajak-sajak suram, ketika itu pula mata kata memejam.

Apabila tak kau tulis sebait pun sajak, ada kata yang diam-diam hendak berteriak.

Saat kau lahirkan sajak sebait, sejak itu kata mengenal jerit sakit.

Walau tak datang sajak yang kau undang, jangan kau usir kata asing yang datang.

Kau sembunyikan di mana jejak sajakmu? selalu ada kata rindu memaksa bertemu.

Ada sajak yang kau tuangkan ke gelas, siapakah yang mereguk kata hingga tandas?

Jika kau paksa juga menulis sajak, kata memang tiba, tapi makna jauh bertolak.

Jangan ajari sajakmu mengucap dusta, sebab mulutmu akan dibungkam kata-kata.

Biarkan sajakmu dicela dicaci dinista, karena maki cuma kata yang cemburu buta.

Di mana kau simpan sajak terbaik? di hati, lalu biarkan kata mengucap tabik.

Pernahkan sajak meminta lebih darinya? kata berkata: ah apalah, aku cuma kata...

 

Gurindam Pasal yang Kedua:

Pada Kamus, Pada Kata

Siapa kata yang tahan diam dalam kamus bahasa, cuma kata hilang, yang ditemukan oleh lain kata.

Adakah kata yang bertahan di luar kamus kata, Ya, dia kata yang menyebut fasih siapa dirinya.

Buat apa mencari kata dalam kamus yang rimba, ke dalam sajak paling bijak, jejak kata baka tertera.

Kamus bukan samudra, juga bukan luas angkasa, kamus cuma peta, menuntun pemburu melacak kata.

Jadilah pemburu yang membebaskan kata-kata, Jadilah penakluk kamus, pengejar batas bahasa.

Di manakah rumah paling nyaman bagi kata? Pada sajak, bukan kamus, bukan pada bicara.

 

Gurindam Pasal yang Ketiga:

Hakikat Jejak, Hakikat Sajak

Ketika kau bertanya-tanya apakah yang sajak, ketika itu pula kau telah banyak hilang jejak.

Dalam sajak-sajak, kau mesti terus jauh melacak, hanya itu jalan, agar kau dan sajakmu bertemu jejak.

Mulailah sajakmu dari apa yang terbaca pada jejak, jika tak kau akan kehilangan keduanya: sajak dan jejak.

Telusuri saja jejak kata, ikuti saja jejak sajak, keduanya membawamu ke bahasa yang puncak.

Kau yang tak tahu kata, tapi ingin mencapai sajak, kelak hanya membekaskan jejak-jejak yang bengak.

Kau yang tahu kata, tapi jauh meninggalkan sajak, kelak hanya akan ditinggal kata, tak juga berjejak.

 

Gurindam Pasal yang Keempat:

Mana Kata, Mana Makna

Kenapa kau takut hilang jejak di dalam sajak, bukankah hakikat sajak adalah jauh melacak?

Kenapa kau takut sajakmu kehabisan kata-kata, bukankah hakikat sajak adalah kata yang mencipta?

Kenapa sajak kau jejali kata, kau bebani makna? sajak itu meleluasakan kata, meluaskan makna

Sejak mulai bicara, kau ucapkan jutaan kata, kenapa tak sebait pun sajak ingin kau cipta?

 

Gurindam Pasal yang Kelima:

Kenapa Sepi, Kenapa Sajak

Jejak sunyi dalam sajak, kenapa selalu terbaca? sebab sajak: penggema sepi yang tak ingin bicara.

Hanya di jalan sepikah sajak mau melintas lalu, tak, ia hanya ingin kau mendengar bisik dirimu.

Sajak mencipta sunyi atau sunyi merahimkan sajak? Apa saja, tapi dalam sunyi sajak ada nyaring teriak.

Lalu kenapa tak berdiam saja dan sebut itu sajak? Diamlah saja. Sajak tak pernah minta disebut sajak.

Gurindam Pasal yang Keenam:

Ketika Cinta, Ketika Sajak

Penghasut besar bagi lahir sajak ialah cinta, kau mesti pecahkan dia, dapatkan inti sepinya.

Jangan menulis sajak cinta, ketika kau rasa cinta, yang kau dapatkan hanya sajak penuh pura-pura.

Hingga cinta cukup berjarak, sajakmu tahan saja, Meski dalam cinta, sajak datang amat ramahnya.

Cinta membenci ada jarak, cinta memusuhi sepi, jarak menciptakan cukup sepi, sajak menemu diri.

Tapi kenapakah telah begitu banyak ditulis sajak cinta, tak lihatkah, mereka lahir dari cemas yang teramat ada.

Tapi kenapakah masih saja ditulis sajak-sajak cinta, tak apa, asal sajak cintamu tak lahir dari cinta itu saja.

 

Gurindam Pasal yang Ketujuh:

Bagi Sajak, Bagi Siapa

Untuk siapakah sebenarnya sajak kau cipta? sia-sia jika kau tak menulisnya untuk sajak saja.

Kepada siapa bisa kau berikan sajak-sajakmu? sajak perlu diberi hidup, beri ia pada yang tahu.

Ada penyelinap dalam sajak yang seolah sajak, Ah, malanglah, ia tak akan mampu jauh bertolak.

Adakah sajak yang kau sebut sesungguh sajak? sajak hidup dalam kau, kau hidup dalam sajak.

Siapakah kau yang terus rindu mencari sajak, kau yang menemu diri tapi masih merasa tak berjejak.

 

Gurindam Pasal yang Kedelapan:

Cari Sajak, Hilang Sajak

Orang-orang pergi tinggalkan rumah Sajak, hendak ke mana? “Kami mau berburu sajak!"

Orang bongkar tubuh kamus ke sumsum kata, mencari apa? “Sajak, kami sedang menjebaknya!"

Orang-orang melompat renggut kalimat-kalimat, mau apa? “Kami mau sajak, meringkus bila dapat!"

Wah! Orang-orang menelanjangi tubuh sendiri! ketemu apa? “Sial, malah hilang semua sajak kami!"

Kata penyair itu, “Tolong jangan aku disebut-sebut." Nah! Lihat, di sajak ini pun dia tak mau terikut-ikut.

 

Gurindam Pasal yang Kesembilan:

Anakmu Sajak, Lepaskan Sajak

Sajakmu anak kandungmu, beri ia lebih dari cinta lahir dari rahim resahmu, beri rindu yang keras kepala.

Seringlah bertatapan: matamu dan mata sajakmu, di matanya dia akan kekalkan cahaya matamu.

Beri nama terbaik pada kata-kata sajakmu, sajakmu nanti fasih menyebut namanya dan namamu.

Sajakmu anak batinmu: ia menyuarakan diammu, jangan paksakan ia jadi corong kecerewetanmu

Lepaskan saja sajakmu berlari jauh dari pangkuan biar tangan hatimu dan tangan hatinya berpegangan.

Biarkan sajakmu bertemu hati yang mencintainya tetap ada darahmu mengalir dalam bait tubuhnya.

Pompong Tak Singgah di Bakong

: I.K.

BAIKLAH, lekas naik selangkah ke Daik,

sebelum dada cabik, sebelum dahi belah

dan patah cabang lain jatuh ke jantung laut

ke bibir yang mengucap nama perahu hanyut

Siapa yang membisikkan siasat itu padamu, Sultan?

 

MAKA tak ada peta pengungsian di lautan

dan sekarang kita melangkah tanpa denah

tersandung batang rebah pangkal sagu busuk

aduh, ada duri tertikam di sela kuku ibujari

aduh, ada lebah menyengat ujung lidah, tapi

masih kita berlagu tudung periuk pandai menipu

Siapa yang menikamkan khianat itu padamu, Sultan?

Sebagai tual-tual sagu, dirakit ke muara itu,

bila hujan sebentar, tenggelam rumah pengulu

tengok ada perahu datang dari teluk berhantu

menjemput bocah lelaki lihai menghalau ragu

 

BAIKLAH, lekas naik selangkah ke Daik,

sebelum mata lamur, sisa seruas umur

Sultan, siapa yang bilang padamu ini sudah telanjur?

Hasan Aspahani lahir 1971 di Kalimantan Timur. Kini bermukim di Batam. Wartawan, penyair, blogger (www.sejuta-puisi.blogspot.com). Tahun lalu menerbitkan buku Orgasmaya dan Menapak ke Puncak Sajak.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com