Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Benjang, Gulat Asli Sunda

Kompas.com - 19/04/2008, 11:02 WIB

Oleh Cornelius Helmy

Jawa Barat boleh berbangga dengan pencak silat yang mendunia. Kesenian daerah ini dimainkan di banyak negara, termasuk Olimpiade sebagai cabang olahraga bela diri.

Namun, pencak silat bukanlah satu-satunya. Masih ada kesenian tradisional yang berevolusi menjadi olahraga bela diri, yaitu gulat Sunda atau kerap disebut benjang.

Ada banyak versi asal mula benjang. Ada yang menyebut benjang berasal dari kalangan pesantren di Jabar. Versi lain menceritakan, benjang berasal dari bahasa Belanda, band jong, atau sekelompok anak muda yang ramai memainkan kesenian.

Versi lain mengatakan, benjang lahir dari tradisi petani setelah panen. Mereka saling adu banting dan ketangkasan di atas jerami. Dahulu benjang sering dipertontonkan saat acara pernikahan, selamatan keluarga, atau 40 hari kelahiran bayi.

Benjang mirip sumo, gulat tradisional Jepang. Dalam tataran lokal, benjang juga mirip gedou di Aceh, marsurangut di Tapanuli, atol di Rembang, patol di Jawa Timur, bahempas di daerah Banjarmasin, dan sirroto di Bugis.

Beberapa paguron (perguruan) yang masih bertahan antara lain Pustaka Wargi di Ujungberung, Pustaka Wangi (Ujungberung), Rajawali Putih (Ujungberung), dan Libot Muda (Ujungberung). Untuk menguji kemampuan, satu rombongan benjang gulat biasanya beranggotakan minimal 15 orang yang terdiri dari 9 penabuh, 1 pemimpin, 4 pemain, dan 1 wasit.

Menurut Ike Gusmiati, pebenjang dari Paguron Panca Warna Putra, Ujungberung, sebagai bentuk kesenian, penyajian benjang tidak lepas dari tradisi. Ada pakem yang terus dijaga. Selama pertandingan, benjang harus diiringi alat musik Sunda, seperti terebang, terompet, gendang, bedug, kecrek, dan tambur. Pebenjang wajib melakukan gerakan pembuka, seperti menari (ibing) yang dibagi dalam tiga tahap, yaitu golempang (ajang perkenalan), puyuh ngungkuk (simbol mencari lawan), dan beurum panon (mengatakan siap bertarung).

Dahulu setelah melakukan gerakan ibing, pakaian hitam-hitam yang dikenakan harus dilepaskan dan menyisakan celana pendek. Itu menandakan pebenjang bersih atau tidak membawa senjata lainnya. Mereka juga menutupi kepala dengan sarung yang digunakan agar lawan tidak takut melihat penantang.

Jika sudah menemukan lawan, pebenjang bertarung di tanah keras. Namun, kini kebanyakan pebenjang menggunakan baju ketat, seperti pegulat, dan bertanding di atas matras.

"Dulu siapa pun bebas bertarung tanpa mempertimbangkan besar atau kecil tubuh. Maknanya, seseorang harus bisa mengukur kemampuan diri dan emosi secara mandiri dan kemampuan lawan yang dihadapi. Tapi, sekarang harus ditimbang terlebih dahulu," katanya. Uji sportivitas

Menurut Eutik, mantan pebenjang Ujungberung, ketika dimainkan pertama kali, benjang memang ditujukan untuk menguji keberanian dan sportivitas. Istilahnya, daripada berkelahi di luar, lebih baik menguji kekuatan di arena pertandingan.

Namun, benjang pernah tercoreng saat pemerintah melarang tampil pada tahun 1970-1980. Alasannya, pementasan benjang selalu menimbulkan keributan fisik.

Benjang perlahan bangkit dan sangat ketat terhadap pelakunya. Ada banyak aturan sebelum bertanding. Sebelum turun ke arena pertandingan, pebenjang tidak diperbolehkan mencolok mata, menendang, dan menonjok.

Teknik yang dimainkan pun bermacam-macam, di antaranya nyentok hulu (mengentak), ngabeluit (membelit), engkel (gerakan mengunci ketiak), dan dengkekan (piting).

"Pembeda paling sederhana antara gulat dan benjang antara lain bila pebenjang sudah menjatuhkan lawan ke tanah, dia adalah pemenangnya" katanya.

Sebagai salah satu kesenian bela diri, benjang juga tidak ingin terhenti dalam bentuk tradisional. Sama seperti pencak silat, benjang juga ingin dikenal lebih luas.

Akan tetapi, benjang tidak setiap saat dilakukan. Akibatnya, benjang lebih dikenal sebagai tradisi, bukan olahraga prestasi.

Sejauh ini di tataran olahraga prestasi, benjang hanya menjadi pertandingan ekshibisi di beberapa pertandingan olahraga gulat. Padahal, menurut Karma, pebenjang asal Majalengka, potensi gulat ini tidak kalah besarnya. Sama seperti pencak silat, benjang di daerah juga telah menghasilkan prestasi tersendiri dengan tetap mengusung kekhasannya. Bahkan, namanya dikenal hingga ke Jepang. Tahun 2004 benjang pernah dijadikan studi banding penggiat olahraga sumo.

Wulandari, Sekretaris Paguron Benjang Libot di Kampung Ciwaru, Desa Cilengkrang, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung, berharap suatu saat atlet benjang bisa seperti atlet gulat yang berlaga di kejuaraan nasional bahkan internasional.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com