Menurut Todung, hal ini turut dipengaruhi oleh revisi UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang isinya mengurangi sejumlah kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Padahal, capaian IPK terbesar sudah diraih pada awal periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo pada tahun 2019 dengan skor 40. Tetapi, angkanya kembali turun menjadi 37 di tahun 2020, kemudian naik sedikit di angka 38, dan turun lagi menjadi 34 pada tahun 2022 dan 2023.
"Angka 34 itu angka yang jelek. Saya kira pada zaman Jokowi lah pemberantasan korupsi itu dibunuh. Pada periode pertama pemerintahan Jokowi kita masih melihat angka kenaikan IPK, tapi setelah itu pada periode kedua setelah revisi UU, KPK secara sistematis dimatikan," kata Todung dalam acara peluncuran IPK di Jakarta Selatan, Selasa (30/1/2024).
Todung menilai, revisi UU KPK justru mengerdilkan kewenangan-kewenangan KPK, meski lembaga antirasuah itu tetap eksis hingga kini.
Akibatnya, pemberantasan tindak pidana korupsi tidak bisa efektif sehingga skor IPK pun menurun. Pemberantasan secara masif pun berkurang lantaran lemahnya pengawasan.
"Kalau misalnya tidak ada revisi UU KPK, saya yakin IPK kita sudah akan naik dari 40, mungkin ke 46 atau 48. Nah, ini tidak terjadi. Saya kira kita akan mencatat pemerintahan ini sebagai pemerintahan yang melemahkan pemberantasan korupsi," kata Todung.
Lebih lanjut, dia menyampaikan, indeks persepsi korupsi yang stagnan juga berpotensi menurunkan daya saing Indonesia dalam menyerap investasi dibanding negara lain.
Berdasarkan pengalamannya sebagai kosultan dan Duta Besar Norwegia selama lima tahun, Todung mengatakan, korupsi selalu menjadi hambatan nvestasi yang mau ingin ke Indonesia.
"Korupsi yang begitu sistemik, masif, endemik. Nah, bahwa dia (investasi) akan masuk, iya. Tapi itu akan takes a long time untuk masuk ke Indonesia. Jadi daya saing kita akan semakin melemah dengan ketidakpastian hukum dan korupsi yang sistemik," ujarnya.
Sebagai informasi, IPK Indonesia pada tahun 2023 berada di angka 34, yang membuat peringkat Indonesia merosot menjadi 115 dari 180 negara di tahun 2023.
Sedangkan di tahun 2022, peringkat Indonesia berada di angka 110 dari 180 negara.
Skor ini pun membuat Indonesia berada jauh di bawah Singapura. Demikian juga, berada di bawah Malaysia, Vietnam, dan Thailand.
Secara berurutan, skor IPK Singapura berada di angka 83 pada tahun 2023, stagnan dibanding tahun lalu. Diikuti Malaysia dengan skor 50, Timor Leste dengan skor 43, Vietnam dengan skor 41, dan Thailand dengan skor 35.
Adapun negara ASEAN lain yang berada pada angka yang sama atau di bawah Indonesia adalah Filipina dengan skor 34, Laos dengan skor 28, Kamboja 22, dan Myanmar 20.
Tercatat, ada delapan indikator yang digunakan Transparency International dalam menyusun IPK.
Sementara itu, empat sumber data mengalami stagnasi, yakni Global Insight Country Risk Ratings dengan skor 47, World Justice Project-Rule of Law Index dengan skor 24, PERC Asia Risk Guide dan Economist Intelligence Unit dengan skor 29.
Sedangkan tiga sumber data mengalami kenaikan yakni Bertelsmann Transformation Index (+3) dari 33 menjadi 37, IMD World Competitiveness Yearbook (+1) dari 39 menjadi 40, dan Varieties of Democracy Project (VDem) (+1) dari 24 menjadi 25.
https://nasional.kompas.com/read/2024/01/30/16351951/indeks-persepsi-korupsi-indonesia-stagnan-di-angka-34-todung-itu-angka-yang