JAKARTA, KOMPAS.com - Keriuhan dalam persaingan bakal calon presiden menjelang pemilihan presiden (Pilpres) 2024 terus bergulir.
Ketiga sosok yang dijagokan yakni Prabowo Subianto, Anies Baswedan, dan Ganjar Pranowo saling bersaing dalam elektabilitas serta menuangkan gagasan masing-masing kepada masyarakat.
Pada era demokrasi pasca Reformasi dan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, kandidat yang akan bersaing diberi kesempatan buat melakukan kampanye.
Kampanye dilakukan buat memaparkan visi-misi, program, serta target dalam kepemimpinan jika mereka terpilih.
Akan tetapi, Presiden Soeharto sempat mempunyai pandangan berbeda ketika dia masih berkuasa.
Dia justru menilai tidak tepat jika calon presiden mengkampanyekan program-programnya.
Menurut Soeharto, presiden adalah mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang seharusnya melaksanakan program-program yang diputuskan oleh Majelis.
Jika para kandidat berkampanye terlebih dulu memaparkan program-programnya, menurut dia hal itu berarti mendahului MPR karena dia melaksanakan programnya sendiri, tidak melaksanakan keputusan MPR.
Pernyataan itu disampaikan Soeharto saat menerima kunjungan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di di Bina Graha, Jakarta, pada 26 Maret 1990.
Pernyataan Soeharto itu juga yang dikutip oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang ketika itu menjabat sebagai Ketua PBNU.
"Presiden menjelaskan bahwa karena presiden adalah mandataris MPR yang melaksanakan program yang diputuskan oleh MPR, maka tentu tidak tepat kalau orang mau jadi presiden harus kampanye dulu membawa programnya. Ini berarti dia mendahului MPR karena dia melaksanakan programnya sendiri, tidak melaksanakan keputusan MPR," ujar Soeharto yang dikutip Gus Dur, seperti diberitakan surat kabar Kompas pada 28 Maret 1990.
Pernyataan Soeharto nampaknya menanggapi pendapat pengamat politik A. Dahlan Ranuwihardja, dalam seminar nasional kajian hukum tentang negara yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Keilmuan Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Kampus UI Depok, pada 23 Maret 1990.
Sedangkan guna mendapat persetujuan rakyat sebanyak-banyaknya, maka mereka harus dilibatkan secara maksimal dalam proses pemilihan presiden.
"Proses pemilihan presiden belum cukup jika dimulai dan diakhiri dalam Sidang Umum MPR saja," ujar Dahlan.
Menurut dia, sebenarnya Sidang Umum MPR yang hanya berlangsung lebih kurang 15 hari belum cukup memadai buat memproses pemilihan presiden secara terbuka dan tuntas.
Pada saat itu, MPR masih berstatus lembaga tertinggi negara yang berwenang memilih, mengangkat, dan memberhentikan seorang presiden.
Maka dari itu, presiden pada masa Orde Baru merupakan penerima mandat rakyat yang diwakili melalui MPR.
Sedangkan yang dimaksud terbuka dalam proses pemilihan presiden oleh MPR adalah transparan bagi rakyat sebagai pemilik tunggal kedaulatan rakyat.
Sedangkan yang dimaksud tuntas adalah adanya kesempatan yang cukup bagi rakyat untuk berdialog secara langsung dengan calon presiden untuk memberi peluang bagi rakyat untuk relatif mengenal kandidat.
Selain itu rakyat diharapkan diberi waktu untuk bisa mendengar langsung program dari sang calon pada masa pemerintahannya setelah terpilih sebagai presiden.
https://nasional.kompas.com/read/2023/08/24/05000071/saat-gus-dur-ungkap-soeharto-tak-sepakat-ada-capres-kampanye-