JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Adi Prayitno menilai, banyaknya dukungan partai politik ke figur calon presiden (capres) tak menjamin kemenangan.
Dia mengatakan, kemenangan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (cawapres) ditentukan oleh suara rakyat, bukan banyaknya dukungan partai politik.
Ini Adi sampaikan merespons gemuknya koalisi pendukung bakal capres Partai Gerindra untuk Pemilu 2024, Prabowo Subianto.
“Tidak ada korelasi banyaknya dukungan partai ke capres akan memenangkan pertarungan politik karena yang memilih presiden itu bukan anggota dewan atau anggota partai yang jumlahnya sangat terbatas,” kata Adi kepada Kompas.com, Selasa (15/8/2023).
"Yang memilih presiden itu adalah rakyat Indonesia," tuturnya.
Adi mencontohkan, ketika Pemilu Presiden (Pilpres) 2014, koalisi pendukung Joko Widodo dan Jusuf Kalla lebih ramping dari koalisi pendukung Prabowo-Hatta Rajasa. Namun, ketika itu, Jokowi-JK berhasil unggul dari Prabowo-Hatta.
Hal serupa juga terjadi pada Pilpres 2004. Saat itu, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-JK didukung oleh sedikit partai politik, tetapi mampu mengalahkan empat pasangan capres-cawapres lawan.
Memang, kata Adi, semakin banyak dukungan partai, mental juang sebuah koalisi akan berlipat ganda. Namun, bukan berarti hal itu bisa dikapitalisasi menjadi dukungan suara.
“Partai tidak menjamin apa pun,” ujarnya.
Adi mengatakan, ketika pemilu presiden (pilpres) digelar bersamaan dengan pemilu legislatif (pileg), partai akan fokus pada pileg, bukan pilpres.
Partai yang menaruh fokus besar pada pilpres kemungkinan hanya yang kadernya maju sebagai capres atau cawapres.
Sekalipun sebuah partai politik telah menyatakan dukungan ke capres tertentu, partai tersebut tak akan banyak berupaya memenangkan pilpres jika bukan kadernya sendiri yang jadi calon RI-1 atau calon RI-2.
“Biasanya fokus pada pilpres itu kalau kadernya atau punya jagoan internal maju. Sementara kalau tidak punya jagoan baik capres ataupun cawapres rata-rata kecenderungannya berkampanye untuk partai dan berkampanye untuk kepentingan caleg saja,” kata Adi.
“Bagaimana sang capres mampu meyakinkan pemilih untuk datang ke TPS untuk memilih, itu adalah kuncinya. Visi-misi, model kampanye, strategi politik, dan sebagainya akan turut menentukan seorang capres itu bisa terpilih atau tidak dalam pilpres. Itu kuncinya, bukan partai,” tutur dia.
Sebagaimana diketahui, baru-baru ini, rencana pencapresan Prabowo mendapat tambahan dukungan dari dua partai politik, Golkar dan PAN. Butuh waktu lama buat kedua partai menentukan pilihan.
Baik Golkar maupun PAN sebelumnya sempat berkomunikasi dengan PDI Perjuangan, parpol pengusung Ganjar Pranowo. Namun, pada akhirnya, kedua partai menjatuhkan arah dukungan ke Prabowo.
"Pada tanggal yang baik ini, 13 Agustus 2023, persis satu tahun tanda tangan kerja sama politik Gerindra dan PKB. Dan satu tahun kemudian kerja sama politik ini diperkuat dua partai bersejarah, partai yang besar," kata Prabowo di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jakarta, Minggu (13/8/2023).
Di luar itu, Prabowo juga mendapat dukungan dari partai politik non Parlemen yakni Partai Bulan Bintang (PBB) pimpinan Yusril Ihza Mahendra.
Sementara, rencana pencapresan Anies didukung oleh Partai Nasdem, Partai Demokrat, dan PKS. Partai Ummat besutan Amien Rais juga mendukung mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu.
Sedangkan Ganjar didukung oleh dua partai politik Parlemen yakni PDI Perjuangan dan PPP, serta dua parpol non Parlemen yaitu Partai Hanura dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo).
https://nasional.kompas.com/read/2023/08/16/08175831/koalisi-gemuk-prabowo-disebut-tak-jamin-kemenangan-bergantung-pilihan-rakyat