Salin Artikel

"Malu-malu Kucing" Pemerintah dan DPR Ingin Turunkan Usia Minimum Capres

Sinyal ini tampak dalam keterangan masing-masing yang disampaikan dalam sidang pemeriksaan perkara nomor 29, 51, dan 55/PUU-XXI/2023 terkait Pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (1/8/2023).

Saat itu, DPR diwakili anggota Komisi III dari fraksi Partai Gerindra, Habiburokhman.

Sementara itu, pandangan presiden diwakili oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang bertindak atas nama Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Dalam pandangannya, DPR menyinggung bahwa perubahan dinamika ketatanegaraan perlu dipahami oleh capres sebagai calon penguasa tertinggi suatu negara, sehingga yang bersangkutan perlu memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara.

Habiburokhman juga menyinggung bahwa berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk produktif akan sangat berperan dalam beberapa tahun mendatang.

"Oleh sebab itu, penduduk usia produktif dapat berperan serta dalam pembangunan nasional di antaranya untuk mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres," kata Habiburokhman.

"Empat puluh lima negara di dunia memberikan syarat minimal 35 tahun, di antaranya Amerika Serikat, Brasil, Rusia, India, dan Portugal," ujarnya.

Sementara itu, pemerintah menyinggung soal Pasal 28D ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

"Perlu dipertimbangkan perkembangan dinamika kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan ketatanegaraan, salah satunya terkait kebijakan batasan usia bagai calon presiden dan wakil presiden," kata Yasonna dan Tito dalam keterangan yang dibacakan oleh Staf Ahli Mendagri, Togap Simangunsong, dalam sidang.

Pemerintah menilai, batasan usia minimum capres-cawapres merupakan sesuatu yang adaptif dan fleksibel, sesuai perkembangan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai kebutuhan penyelenggaraan ketatanegaraan.

Pemerintah juga menggunakan alasan sejenis dengan DPR, yaitu pentingnya mempertimbangkan usia produktif.

"Bahwa tolok ukur batasan usia dengan memperhatikan dinamika perkembangan usia produktif penduduk perlu dipertimbangkan kembali," kata Togap.

Namun, dalam petitumnya, DPR dan pemerintah kompak menyerahkan urusan ini ke MK, tanpa sikap tegas yang menyatakan persetujuannya atau penolakannya terhadap permohonan uji materi ini.

PSI meminta agar batas usia minimum capres-cawapres 40 tahun dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai "sekurang-kurangnya 35 tahun", seperti ketentuan Pilpres 2004 dan 2009 yang diatur Pasal 6 huruf q UU Nomor 23 Tahun 2003 dan Pasal 5 huruf o UU Nomor 42 Tahun 2008.

Sementara itu, pada perkara nomor 51/PUU-XXI/2023, penggugat merupakan Sekretaris Jenderal dan Ketua Umum Partai Garuda, Yohanna Murtika dan Ahmad Ridha Sabhana.

Petitum dalam gugatan Partai Garuda persis dengan perkara nomor 55/PUU-XXI/2023 yang diajukan dua kader Gerindra, yakni Wali Kota Bukittinggi Erman Safar dan Wakil Bupati Lampung Selatan Pandu Kesuma Dewangsa.

Mereka meminta agar batas usia minimum capres-cawapres tetap 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara.

DPR dan pemerintah sama-sama menyinggung putusan MK terdahulu dalam tanggapan mereka, yakni nomor perkara 15/PUU-V/2007 dan 58/PUU-XVII/2019.

Pada intinya putusan MK terdahulu itu menegaskan bahwa batas usia capres dan cawapres merupakan ranah pembentuk undang-undang (open legal policy). Konstitusi UUD 1945 tidak mengatur sama sekali batasan-batasan itu.

Pandangan keduanya membuat MK heran. Sebab, artinya bola memang ada di tangan pemerintah dan DPR selaku pihak berwenang mengubah ketentuan itu.

Wakil Ketua MK Saldi Isra juga menangkap sinyal malu-malu kucing dari DPR dan pemerintah tersebut.

"DPR juga implisit sudah setuju dan tidak ada perbedaan di fraksi-fraksinya, kelihatan pemerintah juga setuju. Kan sederhana mengubahnya, dibawa ke DPR, diubah undang-undangnya, pasal itu sendiri, tidak perlu tangan Mahkamah Konstitusi," kata Saldi Isra.

"Kalau dibaca implisit keterangan DPR dan pemerintah, walaupun di ujungnya itu menyerahkan kepada kebijaksanaan Yang Mulia Hakim Konstitusi, itu kan bahasanya bersayap, dua-duanya mau ini diperbaiki," ujarnya lagi.

"Pertanyaan besar kami sebetulnya, mengapa kok didorong ke 35 (tahun)? Tidak ke 30? Atau 25?" tanya Saldi kepada perwakilan pemerintah dan DPR.

Padahal, menurutnya, pendaftaran capres dan cawapres tinggal berjarak tiga bulan lagi. MK justru meminta pendapat, jika beleid itu diubah, kapan sebaiknya batas usia minimum capres-cawapres berlaku.

Saldi juga meminta penjelasan soal kesetujuan DPR perihal dibutuhkannya pengalaman menjabat penyelenggara negara untuk maju sebagai capres-cawapres.

Ia mempertanyakan, sejauh mana pengalaman itu bisa menentukan kelayakan seseorang menjadi capres-cawapres.

MK juga meminta jawaban rasional dari DPR dan pemerintah mengapa Mahkamah perlu turun tangan dalam pengubahan ketentuan ini.

Apalagi, menurutnya, DPR membandingkan situasi di Indonesia dengan batas usia minimum capres-cawapres di luar negeri.

Padahal, Saldi mengatakan, Filipina yang konstitusinya mirip dengan Amerika Serikat, mengatur batas usia minimum capres-cawapres yang berbeda.

"Tolong dieksplisitkan supaya kita, mahkamah ini, paham kenapa itu (batas usia capres-cawapres) harus diubah," kata Saldi Isra.

https://nasional.kompas.com/read/2023/08/02/06193301/malu-malu-kucing-pemerintah-dan-dpr-ingin-turunkan-usia-minimum-capres

Terkini Lainnya

Mengenal Tim Gugus Tugas Sinkronisasi Prabowo-Gibran, Diisi Petinggi Gerindra

Mengenal Tim Gugus Tugas Sinkronisasi Prabowo-Gibran, Diisi Petinggi Gerindra

Nasional
Sebut Serangan ke Rafah Tragis, Prabowo Serukan Investigasi

Sebut Serangan ke Rafah Tragis, Prabowo Serukan Investigasi

Nasional
Refly Harun Sebut Putusan MA Sontoloyo, Tak Sesuai UU

Refly Harun Sebut Putusan MA Sontoloyo, Tak Sesuai UU

Nasional
Mendag Apresiasi Gerak Cepat Pertamina Patra Niaga Awasi Pengisian LPG 

Mendag Apresiasi Gerak Cepat Pertamina Patra Niaga Awasi Pengisian LPG 

Nasional
Menaker: Pancasila Jadi Bintang Penuntun Indonesia di Era Globalisasi

Menaker: Pancasila Jadi Bintang Penuntun Indonesia di Era Globalisasi

Nasional
Momen Jokowi 'Nge-Vlog' Pakai Baju Adat Jelang Upacara di Riau

Momen Jokowi "Nge-Vlog" Pakai Baju Adat Jelang Upacara di Riau

Nasional
Refleksi Hari Pancasila, Mahfud Harap Semua Pemimpin Tiru Bung Karno yang Mau Berkorban untuk Rakyat

Refleksi Hari Pancasila, Mahfud Harap Semua Pemimpin Tiru Bung Karno yang Mau Berkorban untuk Rakyat

Nasional
Singgung Kesejarahan Ende dengan Bung Karno, Megawati: Pancasila Lahir Tidak Melalui Jalan Mudah

Singgung Kesejarahan Ende dengan Bung Karno, Megawati: Pancasila Lahir Tidak Melalui Jalan Mudah

Nasional
Minta Tapera Tak Diterapkan, PDI-P: Rakyat Sedang Hadapi Persoalan yang Berat

Minta Tapera Tak Diterapkan, PDI-P: Rakyat Sedang Hadapi Persoalan yang Berat

Nasional
 Jokowi Targetkan Blok Rokan Produksi Lebih dari 200.000 Barel Minyak per Hari

Jokowi Targetkan Blok Rokan Produksi Lebih dari 200.000 Barel Minyak per Hari

Nasional
Aturan Intelkam di Draf RUU Polri Dinilai Tumpang Tindih dengan Tugas BIN dan BAIS TNI

Aturan Intelkam di Draf RUU Polri Dinilai Tumpang Tindih dengan Tugas BIN dan BAIS TNI

Nasional
Revisi UU TNI-Polri, PDI-P Ingatkan soal Dwifungsi ABRI

Revisi UU TNI-Polri, PDI-P Ingatkan soal Dwifungsi ABRI

Nasional
Antam Pastikan Keaslian dan Kemurnian Produk Emas Logam Mulia

Antam Pastikan Keaslian dan Kemurnian Produk Emas Logam Mulia

Nasional
Hasto PDI-P: Banteng Boleh Terluka, tapi Harus Tahan Banting

Hasto PDI-P: Banteng Boleh Terluka, tapi Harus Tahan Banting

Nasional
Sentil Penunjukan Pansel Capim KPK, PDI-P: Banyak yang Kita Tak Tahu 'Track Record' Pemberantasan Korupsinya

Sentil Penunjukan Pansel Capim KPK, PDI-P: Banyak yang Kita Tak Tahu "Track Record" Pemberantasan Korupsinya

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke