JAKARTA, KOMPAS.com - Penurunan elektabilitas Partai Golkar dinilai terjadi karena persoalan dalam kaderisasi dan minim terobosan politik sehingga kurang dilirik calon pemilih.
Menurut analisis Direktur Eksekutif Trias Politika Agung Baskoro, penurunan elektabilitas Partai Golkar salah satunya diakibatkan oleh proses kaderisasi yang belum bisa mencetak figur tokoh politik yang unggul dari sisi pamor diri dan mampu mengerek popularitas partai.
"Secara personal, Golkar gagap melahirkan figur baik dalam konteks ketua umum maupun capres yang potensial," kata Agung dalam keterangannya seperti dikutip pada Selasa (25/7/2023).
Agung mengatakan, kekurangan itu bisa terlihat dan tercermin dari figur-figur ketua umum Partai Golkar yang terpilih, maupun kandidat calon presiden yang diusung dari beberapa pemilihan presiden.
Di sisi lain, Agung menilai Partai Golkar belum memperlihatkan keunggulan dalam hal strategi pemenangan secara optimal terkait pemilihan umum dan Pilpres.
Padahal, kata Agung, hal itu menjadi ironi sejumlah kader Golkar saat ini berada dalam kabinet menjabat sebagai menteri dan menteri koordinator.
"Termasuk anggota-anggota DPR RI Golkar yang selama ini terpilih, belum mampu memberikan gebrakan maupun terobosan yang konsisten di segala lini kehidupan," ucap Agung.
Meski sempat mendapatkan elektabilitas 16 persen suara pada 2020 dan 15 persen pada 2020, dukungan Golkar merosot tajam pada 2023.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan, elektabilitas Golkar yang semula dua digit kini tinggal satu digit.
“Terakhir tinggal 9,2 persen, tinggal 1 digit,” kata Burhanuddin dalam konferensi pers di YouTube Indikator Politik Indonesia, Minggu (23/7/2023).
Burhanuddin mengatakan, data itu mengacu pada hasil survei yang digelar pada 20-24 Juni 2023 dengan cara wawancara tatap muka.
Menurut Burhanuddin, berdasarkan hasil survei melalui wawancara via telepon, elektabilitas Golkar lebih rendah yakni sekitar 6-7 persen.
“Tapi juga lupa survei telepon hanya mewakili kelompok yang punya HP,” tutur Burhanuddin.
Burhanuddin menuturkan, wawancara tatap muka merupakan “golden standard” karena responden tidak terbatas pada kelompok masyarakat yang memiliki ponsel.
Meski demikian, sekalipun menggunakan wawancara tatap muka pada kenyataannya elektabilitas Golkar tetap merosot.
“Berdasarkan survei tatap muka sekalipun di mana yang tidak punya HP juga terekrut dalam sampel kita elektabilitas Golkar juga menurun,” kata Burhan.
Survei Indikator Politik dilakukan terhadap 1.220 responden dari seluruh provinsi dengan usia minimal 17 tahun atau sudah bisa mengikuti pemilu.
Responden dipilih dengan metode simple random sampling. Margin of error dari survei ini sekitar 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Di sisi lain, kepemimpinan Ketua Umum Partai Golkar yang juga menjabat Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, juga digoyang oleh sejumlah kader senior yang tidak puas terhadap kepemimpinannya.
Hal itulah yang juga dinilai menjadi salah satu faktor pemicu gejolak di tubuh Partai Golkar.
Sejumlah politikus senior Golkar mendesak digelarnya musyawarah nasional luar biasa (Munaslub).
Mereka mengkritik kepemimpinan sang Airlangga yang dianggap belum mampu mengerek elektabilitas diri dan partai buat bersaing dalam bursa bakal calon presiden 2024.
Bahkan Luhut Binsar Pandjaitan yang merupakan politikus Golkar sempat menyatakan bisa menaikkan perolehan suara jika diberi kepercayaan memimpin partai itu.
https://nasional.kompas.com/read/2023/07/25/16181401/elektabilitas-golkar-turun-dinilai-minim-figur-capres-dan-terobosan